Minggu, 27 November 2016

CATUR YUGA


 

Om Swasti Aastu ....

 

Dalam ajaran agama Hindu, Yuga  atau 1 Mahayuga adalah suatu siklus perkembangan zaman yang terjadi di muka bumi, yang terbagi menjadi empat zaman, yaitu Satyayuga atau Kerta Yuga, TretayugaDwaparayuga, dan Kaliyuga. Menurut ajaran Hindu, keempat zaman tersebut membentuk suatu siklus, sama seperti siklus empat musim. Siklus tersebut diawali dengan Satyayuga, menuju Kaliyuga. Setelah Kaliyuga berakhir, dimulailah Satyayuga yang baru. Perubahan zaman dari Satyayuga (zaman keemasan) menuju Kaliyuga (zaman kegelapan) merupakan kenyataan bahwa ajaran kebenaran dan kesadaran sebagai umat beragama lambat laun akan berkurang, seiring bertambahnya umat manusia dan perubahan zaman. Di mana pada akhirnya manusia akan merasa bahwa di suatu masa yang sudah tua, ketika bumi renta, ketika kerusakan moral dan pergeseran budaya sudah bertambah parah, maka sudah saatnya untuk kiamat.

 

Jika diibaratkan seperti Lembu Dharma (simbol perkembangan moralitas), keempat siklus Yuga (Caturyuga) seperti lembu yang berdiri dengan empat kakinya, di mana setiap zaman berganti, kaki lembu juga ikut berkurang satu, simbol moralitas yang berkurang setiap zaman. Zaman Satyayuga seperti lembu yang berdiri dengan empat kaki, moralitas mantap. Sedangkan zaman Tretayuga seperti lembu yang berdiri dengan tiga kaki. Masa Dwaparayuga dengan dua kaki, dan masa Kali Yuga hanya dengan satu kaki. Pada zaman itu, moralitas tidak bisa berdiri lagi dengan mantap.

 

Pada masa Satyayuga, kesadaran umat manusia akan Dharma (kebenaran, kebajikan, kejujuran) sangat tinggi. Budaya manusia sangat luhur. Moral manusia tidak rusak. Kebenaran sangat dijunjung tinggi sebagai aturan hidup. Hampir tidak ada kejahatan dan tindakan yang melanggar aturan. Maka dari itu, zaman tersebut disebut juga ‘zaman keemasan’.

Masa Tretayuga merupakan zaman kerohanian. Sifat-sifat kerohanian sangat jelas tampak. Agama menjadi dasar hidup. Meskipun begitu, orang-orang mulai berbuat dosa dan penjahat-penjahat mulai bermunculan. Pada zaman ini, seseorang yang pandai, memiliki pengetahuan dan wawasan luas, serta ahli filsafat akan sangat dihormati.

Pada masa Dwaparayuga, manusia mulai bertindak rasional. Penjahat-penjahat dan orang-orang berdosa bertambah. Kelicikan dan kebohongan mulai tampak. Yang diutamakan pada zaman ini adalah pelaksanaan ritual. Asalkan mampu melaksanakan upacara, maka seseorang akan dihormati. Akhir zaman Dwapara dimulai ketika Kresna meninggal, setelah itu dunia memulai zaman terakhir, Kali Yuga.

Zaman terakhir, Kaliyuga, merupakan zaman kehancuran. Banyak manusia mulai melupakan Tuhan. Banyak moral manusia yang rusak parah. Kaum pria banyak berkuasa dan wanita dianggap sebagai objek pemikat nafsu mereka. Banyak siswa berani melawan gurunya. Banyak orang-orang yang mencari nafkah dengan tidak jujur. Dan banyak lagi kepalsuan, kebohongan, kejahatan, dan tindak kekerasan. Pada zaman ini, uang yang paling berkuasa. Hukum dan jabatan mampu dibeli dengan uang.

Sesuai dengan karakter pada masing-masing zaman, terdapat hal-hal yang diutamakan, yakni:

Dhyana (bermeditasi, mengheningkan pikiran) pada Satyayuga. Pada masa itu, pelaksanaan meditasi dan memusatkan pikiran kepada Tuhan yang paling diutamakan dan orang yang melaksanakannya akan dipuji-puji dan dihormati.

Jnyana (belajar, memiliki pengetahuan) pada Tretayuga. Pada masa itu, pengetahuan yang diutamakan dan pendidikan mendapat perhatian penuh pada masa itu. Orang-orang yang pandai dan terpelajar akan diistimewakan dan sangat dihormati pada masa itu.

Yajnya (mengadakan ritual) pada Dwaparayuga. Pada zaman tersebut, pelaksanaan ritual yang diutamakan. Asalkan seseorang melaksanakan ritual maka ia akan dihormati, tidak peduli kaya atau miskin, baik atau jahat.

Dana (memiliki uang, memberi kekayaan) pada Kaliyuga. Pada zaman itu, uang dan kekayaan yang paling diuatamakan. Asalkan seseorang memiliki kekayaan, maka ia akan dihormati dan berkuasa. Budi pekerti tidak lagi dihiraukan, malah orang yang pandai akan menjadi bahan ejekan. Pada masa itu, dengan uang seseorang dapat membeli kehormatan.

 

Trus Apa Hubungannya Dengan Kiamat ??

 

Apa sih hari kiamat ?


Yaitu hari ketika Tuhan menghancurkan seluruh alam semesta ini.
Mengapa Tuhan menghancurkan alam semesta ciptaannya?
Karena dosa-dosa manusia, lalu Tuhan marah besar dan menghancurkan alam semesta ini.
Kan tidak mungkin semua manusia berbuat dosa. Paling hanya bagian terkecil saja yang berbuat dosa, sebagian besar manusia berbuat baik. Lagi pula kan manusia hanya menghuni bumi ini, salah satu planet kecil dalam alam semesta. Mengapa Tuhan menghancurkan bumi saja, mengapa Dia menghancurkan seluruh alam semesta yang demikian luas, dengan berbagai planetnya?

Di dalam agama Hindu dikenal adanya pralaya atau mahapralaya. Tetapi itu terjadi bukan karena Tuhan marah, tetapi karena bumi atau alam semesta ini mengikuiti hukum alam yang disebut “Rta”. Jadi semua ciptaan, termasuk alam semesta, akan mengalami kelahiran perkembangan dan akhirnya kematian.


Pralaya ( Sansekerta ), di kosmologi Hindu , adalah istilah aeonic untuk Pembubaran , yang menentukan periode waktu yang berbeda selama situasi kegiatan non berlanjut, sesuai format atau konteks yang berbeda. Kata Mahapralaya singkatan besar Pembubaran . Selama setiap pralaya, lebih rendah sepuluh alam ( loka ) dihancurkan,  sementara yang lebih tinggi empat alam, termasuk Satya-loka , Tapa-loka, Jana-loka, dan Mahar-loka yang diawetkan. Selama setiap Mahapralaya, ke-14 alam hancur.

Dalam Samkhya filsafat, salah satu dari enam sekolah klasik filsafat India , Pralaya berarti "non-eksistensi, keadaan materi dicapai ketika ketiga guna (prinsip materi) dalam keseimbangan sempurna. Kata pra-laya berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti 'pembubaran' atau dengan ekstensi 'reabsorpsi, penghancuran, pemusnahan atau kematian'.

 

Om Santhi santhi santhi Om

Kamis, 24 November 2016

HINDU ANSWER !!



1 . Tuhan adalah Dewa?

Teman (T) : Orang Hindu menyembah banyak Dewa, ya ? Hindu Politeis.

Anak Hindu (AH) : Di dalam Weda ada kalimat terkenal yang menyatakan sbb: “Ekam Sat Vipra Bahuda Vadanti, “ artinya “ Tuhan itu satu, tetapi orang bijaksana (para maharsi) menyebutkan dengan berbagai nama. Pernyataan di dalam Weda ini sudah ada jauh sebelum lahirnya agama Kristen dan Islam.

(T) : Jadi Hindu juga menganut monoteisme?

(AH) : TIDAK!! Monoteisme adalah paham tentang satu Tuhan yang memiliki bentuk dan sifat seperti manusia, antara lain cemburu, benci, marah dan dendam dan bermukim jauh di surga atau di langit ketujuh. Sedangkan Tuhan di dalam pengertian Hindu, ada di mana-mana, di dalam dan diluar ciptaan. Wyapi wyapaka.

(T) : Jadi Tuhan ada di dalam bumi, di dalam pohon-pohon, dan manusia? Bagaimana bisa? Bukankah itu menyekutukan Tuhan?


(AH) : Tuhan di dalam paham Hindu, adalah maha ada, Mahatakterbatas. Artinya dia ada di mana-mana, keberadan manusia, pohon-pohon, batu-batuan dan lain-lain, tidak dapat membatasi atas menghalangi keberadaan Tuhan.

(T) : Kok bisaa?

(AH) : Tuhan itu bersifat rohani, bukan jasmani atau materi seperti manusia atau alam. Di dalam kitab suci Hindu diandaikan Tuhan seperti api yang ada di dalam setiap kayu yang terbakar. Atau seperti lisitrik yang menghidupkan dan menggerakkan semua alat-alat elektronik yang ada di dalam materi?

(T) : Bila Tuhan ada di dalam ciptaan, apakah dia tidak kotor, karena ada di dalam ,materi?
(AH) : Mutiara sekalipun diletakkan di tempat sampah atau dilumpur, tetap saja mutiara. Matahari menerangi semua tempat, termasuk tempat kotor, tidak dipengaruhi oleh kekotoran tempat itu. Apalagi Tuhan yang menciptakan dan lebih suci dari matahari itu.
(T) : Tapi kan monoteisme lebih baik?
(AH) : Kata siapa? Tuhan monoteisme kan berpihak pada satu kelompok pemeluk agama saja. Tuhan menurut agama Hindu tidak berpihak. Karna dia ada dimana-mana, ada dalam setiap ciptaan, tidak mungkin dia hanya menjadi TUhan bagi sekelompok orang apalagi memusuhi kelompok lainnya. Tuhan menurut agama Hindu, adalah Tuhan bagi seluruh alam semesta, seluruh manusia yang dia ciptakan. Kalau dia hanya menjadi Tuhan untuk satu kelompok orang, mengapa dia menciptakan seluruh manusia? Monoteisme bukanlah Tuhan bagi seluruh manusia. Monotheisme mirip kepala suku. Karena hanya kepala suku yang berpihak kepada sekelompok orang, sukunya, dan memiliki musuh. Sementara Tuhan alam semesta pasti tidak memiliki musuh
.
(T) : Bila bukan monoteisme lalu paham ketuhanan-mu disebut apa?
(AH) : Paham ketuhanan Hindu ini dalam istilah filsafat Barat disebut panteisme. Pan artinya semuanya, teis artinya Tuhan. Jadi panteisme artinya Tuhan yang satu itu adalah semuanya. Satu menjadi banyak. Monoteisme dengan Tuhan pemcemburu yang hanya berpihak kepada satu kelompok orang sering menimbulkan konflik dan perang.

(T) : Lalu Dewa itu apa?

(AH) : Kata Dewa dalam bahasa Sansekerta memiliki banyak arti. * Antara lain “ yang memberi”. Tuhan adalah Dewa karena dia memberi seluruh dunia.Orang terpelajar yang memberikan ilmu pengetahuan kepada sesama manusia adalah Dewa (Vidvamso hi devah). MAtahari, bulan dan bintang-bintang di langit adalah para Dewa karena merekkan memberi cahaya kepada semua ciptaan. Ayah dan Ibu dan pembimbing spiritual adalah juga para Dewa. Bahkan seorang tamu juga adalah Dewa. Maka Dewa kemudian berarti cahaya. Kalau diandaikan matahari adalah Tuhan sinarnya yang tak terhitung jumlahnya itu adalah para Dewa. Jadi para Dewa itu sebenarnya adalah nama-nama Tuhan di dalam fungsinya yang terbatas. Misalnya Brahma adalah nama TUhan dalam fungsinya sebagai pencipta. Wisnu adalah nama Tuhan dalam fungsinya sebagai pemelihara. Dan Siwa adalah nama Tuhan dalam fungsinya sebaga pemrelina/pelebur.

(T) : Siva itu Dewa perusak ya?

(AH) : Bukan perusak tapi pemrelina. Semua yg ada di dunia ini tunduk pada hukum alam yang dalam agama Hindu disebut “RTA”, yaitu, hukum, tumbuh, tambah, musnah. Atau lahir tumbuh berkembang menjadi tua lalu mati. Manusia, binatang, dan tumbuhan mengalami hal itu. Jika isi alam ini semuanya hanya lahir berkembang dan tidak pernah mati, pastilah alam ini akan penuh. Dan karena itu tidak ada ciptaan baru. Nah proses kematian itulah yang disebut premlina. Contoh lain, perhiasaan lama yang dibuat dari emas dilebur, emas itu dibentuk menjadi perhiasaan baru. Proses peleburan itu disebut juga premlina, itulah fungsi Siva.

Hindu menjawab (Tuhan orang Hindu banyak? )

Pertanyaan yang sangat sering saya dengar dari teman-teman saya selama berada didalam dan luar indonesia adalah; Kamu memuja dewa siapa? Dewa itu lebih perkasa dan lebih hebat dari dewa yang lain ya?
Pertanyaan menggelitik tapi juga tidak dapat disalahkan begitu saja karena memang pada kenyataannya dalam filsafat Vedanta dikenal dengan adanya 33 juta dewa. Wooow…. Banyak banget ya?

Mungkin anda sebagai umat Hindu juga belum mengetahui tentang hal ini. Mungkin anda selama ini menjelaskan bahwa dewa-dewa itu adalah nama lain dari Tuhan sesuai dengan tugas yang diemban beliau saat itu. Orang tua dan guru kita selama ini menjelaskan dengan sangat meyakinkan sekali kalau Tuhan disebut Siva saat beliau menjalankan Tugasnya sebagai pelebur, disebut Brahma saat beliau menjalankan tugasnya sebagai pencipta, sebagai Visnu saat menjalankan tugasnya sebagai pemelihara. Apakah benar seperti itu? Adakah sloka-sloka Veda yang mendukung pernyataan-pernyataan indah tersebut?
Jadi ada baiknya kita mengkaji lebih dalam dan mengambil sisi positif dari pertanyaan umat lain yang memojokkan tentang banyaknya “Tuhan” yang dipuja umat Hindu.

Mari kita tengok dan pelajari sekali lagi sloka demi sloka yang berkenaan dengan dewa dan Tuhan.

1. Rg.Veda X. 129.6 “Setelah diciptakan alam semesta dijadikanlah Dewa-dewa itu“
Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dewa-dewa diciptakan setelah alam semesta material tercipta

2. Manawa Dharmasastra 1. 22 “Tuhan yang menciptakan tingkatan Dewa-Dewa yang memiliki sifat hidup dan sifat gerak“

3. Bagavad gita 9,23 “Orang orang yang menyembah dewa dewa dg penuh keyakinan sesungguhnya hanya menyembahku, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang keliru , hai putra Kunti“

4. Bhagavad gita 9.25 ” Orang yang menyembah dewa-dewa akan dilahirkan di antara para dewa, orang yang menyembah leluhur akan pergi ke planet leluhur, orang yang menyembah hantu dan roh halus akan dilahirkan di tengah-tengah mahluk-mahluk seperti itu dan orang yang menyembah-Ku akan hidup bersama-Ku“

Dari sloka ini dapat kita simpulkan bahwa dewa berasal dari Tuhan. Dewa adalah manifestasi yang mengemban misi-misi / tugas tertentu.

Jika kita cermati cara sembahyang umat Hindu khususnya di Bali, maka dibedakan menjadi beberapa macam;

1. Mencakupkan tangan yang diletakkan di atas ubun-ubun untuk memuja Tuhan
2. Mencakupkan tangan di depan kening untuk menghormati para dewa dan leluhur
3. Mencakupkan tangan di depan dada dan mengucapkan om swastiastu sebagai tanda hormat terhadap sesama manusia (greeting)
4. Mencakupkan tangan di dada tapi dengan ujung jari menghadap ke bawah untuk penghormatan pada buta kala/magluk halus yang biasanya diterapkan pada saat upacara pecaruan.

Jadi dari sini sudah sangat jelas bahwa leluhur kita sudah mengajarkan bahwa Hindu memuja 1 Tuhan, menghormati para dewa, leluhur serta semua mahluk hidup ciptaan Tuhan

Ingat walaupun kita sering disebut makhluk yang mulia sudah memiliki sabda, bayu dan idep tetapi kita tidak boleh bertinggi hati, kita hidup ini berdampingan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam, kita tidak mungkin bisa hidup sendiri bukan? makanya sering dalam Hindu di Bali mengenal Tri Hita Karana. Ap itu Tri Hita Karana ?

Konsep Tri Hita Karana
Tri hita karana adalah tiga sumber yang mendatangkan keselamatan atau kebaikan (Ragam Istilah Hindu, Tim Bali Age, 2011:) yakni hubungan baik antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), antara manusia dengan manusia (pawongan), antara manusia dengan lingkungan (palemahan). Perpaduan ketiga aspek keseimbangan merupakan sistem keharmonisan hidup (lahir dan batin). Tri hita karana didasarkan pada keyakinan bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan, dipelihara dan dipralina (dilebur) oleh Tuhan sebagai Tri Murti (Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa) yang mempunyai kekuatan Tri Kona yakni upeti (penciptaan) oleh dewa Brahma, setiti (pemelihara) oleh Dewa Wisnu, dan pralina (pelebur) oleh dewa Siwa. Siklus lahir (upeti), hidup (setiti), dan pralina (mati) terus berjalan (reinkarnasi/punarbawa) hingga ciptaan kembali menyatu dengan penciptanya. Berbagai konsep lain yang mendukung tri hita karana antara lain: Catur Marga/Yoga, Dewata Nawa Sanga, Dewi-Dewi sebagai sakti dari Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa (seperti Dewi Saraswati, Dewi Uma/Sri, dan Dewi Parwati), Panca Sarada (kepercayaan terhadap Tuhan, atman, karma pala, samsara, dan moksa), tiga kerangka dasar masyarakat Bali Hindu (tatwa, susila, upakara), Tat wam Asi, Tri Kaya Parisuda, dan Catur Purusartha. Sukardana (2010) lebih jauh menjabarkan keterkaitan ketiga kerangka dasar tersebut terhadap hampir semua konsep penataan kehidupan masyarakat Bali Hindu.

Penerapan Tri Hita Karana.
Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut
Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya.
Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya.
Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya.

TRI HITA KARANA

Tri Hita Karana terdiri dari :
Parahyangan
Pawongan
Palemahan
1. Parhyangan
Parahyangan adalah hubungan harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa / Brahman sang pencipta / Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai Umat beragama atas dasar konsep theology yang diyakininya khususnya Umat Hindu yang pertama harus dilakukan adalah bagaimana berusaha untuk berhubungan dengan Sang Pencipta melalui kerja keras sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Untuk hal ini ditempuh dengan Catur Marga yaitu empat jalan menuju Sang Pencipta yakni :
Karma Marga merupakan suatu ajaran yang mendorong Umat untuk berbuat semaksimal mungkin untuk kepentingan orang banyak atau dirinya sendiri berada dalam lingkungan itu. Apa yang dikerjakannya tersebut di landasi dengan rasa tulus iklas dan tanpa pamrih. Yang dapat diperbuat dan mempunyai nilai spiritual yang tinggi adalah membangun dan membantu pembangunan tempat-tempat ibadah baik melalui memberikan dana punya ( memberikan sumbangan berupa uang atau bahan-bahan bangunan ), sehingga dapat memperlancar kegiatan pembangunan tempat-tempat ibadah tersebut dan terwujud dengan baik serta dapat dimanfaatkan sebagai mana mestinya oleh Umat beragama untuk kegiatan Keagamaan.

Bhakti Marga merupakan suatu ajaran yang mendorong Umat untuk tulus iklas mengabdi atas dasar kesadaran pengabdian, yang dimaksudkan disini adalah selain berbhakti kepada Hyang Widi Wasa (Tuhan) juga mengabdi untuk kepentingan masyarakat, Bangsa, dan Negara.
Jnana Marga merupakan suatu ajaran yang mendorong umat untuk yang mempunyai kemampuan pemikiran – pemikiran yang cemerlang dan positif untuk disumbangkan secara sukarela dan tanpa imbalan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.
Raja Yoga Marga merupakan suatu ajaran yang mendorong umat untuk selalu menghubungkan diri dengan Tuhan melalui kegiatan sembahyang, tapa ( mengikuti untuk tidak melanggar larangan/ pantangan ), brata ( mengendalikan diri ) dan semadi ( selalu menghubungkan diri dengan berpasrah diri kepada Tuhan melalui berjapa/jikir ).
2. Pawongan
Pawongan adalah hubungan harmonis antara sesama umat manusia. Dalam hal ini ditekankan agar sesama umat beragama untuk selalu mengadakan komunikasi dan hubungan yang harmonis melalui kegiatan Sima Krama Dharma Santhi / silahturahmi. Dan kegiatan ini dipandang penting dan strategis mengingat bahwa umat manusia selalu hidup berdampingan dan tidak bisa hidup sendirian. Oleh karena itu tali persahabatan dan persaudaraan harus tetap terjalin dengan baik.
3. Palemahan
Palemahan adalah hubungan harmonis antara umat manusia dengan alam lingkungannya. Ajaran ini menekankan kepada umat manusia untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan alam sekitar, sehingga terwujud keharmonisan alam dan tetap terjaganya keseimbangan ekosistem. Untuk mewujudkan keharmonisan dengan alam lingkungan, bentuk-bentuk nyata yang dapat dipedomani dan dilaksanakan khususnya bagi Umat Hindu adalah melalui pengamalan makna Tumpek Uduh, Tumpek Kandang dan Caru ( Bhuta Yajna ) dengan berbagai tingkatannya. Semuanya itu merupakan suatu tatanan yang mendasar serta mengandung konsep – konsep keseimbangan yang pada intinya memberikan dorongan untuk menumbuh kembangkan rasa cinta kasih kepada sesama dan alam lingkungan.
Tri Hita Karana dan Tat Twam Asi adalah ajaran yang merupakan suatu konsep untuk menciptakan keharmonisan hubungan yang meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan sesama umat manusia dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya

2. Setan, musuh yang tak dpt dikalahkan Tuhan atau sekutunya?

(T) : Apakah dalam agama Hindu ada setan?
(AH) : Tidak Jika Tuhan mahakuasa mengapa Dia membiarkan setan ada?

(T) : Tuhan memang menciptakan setan untuk menggoda manusia.
(AH) : Mengapa?

(T) : Agar manusia selalu ingat akan Tuhan, dan meminta perlindungan kepada Tuhan.
(AH) : Kalau benar begitu, bukankah Tuhan dapat dianggap bersekutu dengan setan untuk mencelakakan manusia? Mirip seperti keamanan pasar yang korupsi bersekutu dengan preman/penjahat untuk menakut-nakuti para pedagang, agar para pedagang terus meminta perlindungan kepada keamanan, tentu saja dengan membayar uang keamanan
.
(T) : Jadi kalau manusia berbuat dosa disebabkan karena apa?
(AH) : Itu karena ketidaktahuan (avidya). Karena ketidak tahuan manusia memilih melakukan tindakan yang salah. Kalau manusia memiliki pengetahuan (vidya) dia akan menjadi orang yang bijaksana, dan orang bijak tidak akan mungkin melakukan dosa

(T) : Tetapi bukankah di dalam agama Hindu juga diajarkan adanya musuh-musuh?
(AH) : Ya, tetapi musuh-musuh yang ada di dalam diri manusia sendiri, seperti sifat sombong, angkuh, serakah,suka marah, iri benci, suka dengan kekerasaan dan semacam itu. Kami tidak diajarkan untuk memusuhi orang / kelompok lain berdasarkan ras, suku maupun agama. Semua orang apapun keyakinan, suku, bangsa atau ideologinya, adalah satu keluarga. Ini disebut vasudaiva kutumbakam.

(T) : Bukankah di dalam agama-mu ada butakala, yang ogoh-ogohnya diarak sehari sebelum Nyepi. Apakah itu tidak sama dengan setan?
(AH) : Butakala itu adalah mahluk yang tarafnya di bawah manusia, yang karena tidak memiliki akal, sering menjadi gangguan. Butakala bisa juga sebagai lambang manusia yang tidak memiliki pengetahuan / avidya, sering berbuat salah. Untuk mahluk-mahluk ini harus berusaha untuk meningkatkan harkat dan martabat mereka. Kalau dilihat secara arti katanya, buta itu adalah alam, kala adalah waktu. Jadi manusia harus memandang alam dan waktu bukan sebagai musuh tetapi sebagai sahabat agar hidup kita di dunia ini harmonis dan berguna.

3. KASTA

(T) : Apa sih kastamu?
(AH) : Aku tidak punya kasta!

(T) : bukankah didalam agama Hindu ada ajaran tentang kasta?
(AH) : Tidak! Kata “kasta” sendiri berasal dari bahasa portugis, perbedaan kelas berdasarkan keturunan. Di dalam setiap bangsa ada kelas bangsawan dan kelas rakyat biasa. Di dalam agama Hindu tidak ada kasta, yg ada adalah “warna” pengelompokan orang berdasarkan bakat and kemampuannya. Misalnya mereka mempunyai bakat atau kemampuan di bidang keagamaan disebut kaum brahmana, yamg mempunyai bakat dan kemampuan di bidang pemerintahan dan militer disebut ksatriya, yang mempunyai bakat di bidang usaha dan pertanian disebut waisya, yang mmpunyai kemampuan di bidang pelayanan disebut sudra.

(T) : Apakah anak seorang sudra bisa jadi brahmana?
(AH) : Mengapa tidak? Anak seorang pelayan, bisa jadi ahli dan bahkan guru Weda seperti didalam kisah Satyakama. Ia adalah anak Jabala, seorang perempuan pelayan warung. Tetapi karna tekad dan ketekunannya, Satyakama menjadi ahli Weda, bisa jadi professor, bisa jadi jenderal atau pengusaha atau pendeta. Demikian pula sebaliknya anak seorang pendeta bisa jadi pedagang, bisa jadi petani.

(T) : Apa itu hanya teori?
(AH) : Tidak. Di India modern seorang keturunan dalit, bisa menjadi perdana menteri atau presiden. Di dalam masyarakat Hindu di Indonesia, contoh-contoh seperti itu bukan satu pengecualian, artinya contohnya sudah tak terhitung lagi. Sebetulnya profesi / pekerjaan karena keturunan banyak segi positifnya.
(T) : Misalnya?
(AH) : Seorang tukang arloji yang mewarisi profesi atau bisnis keluarga yang telah dijalankan turun temurun, merupakan jaminan mutu, karena merupakan akumulasi dari keahlian. Itu sebabnya perusahaan-perusahaan keluarga sering mengiklankan pendirinya yang sudah hidup lebih dahulu. Tetapi untuk jabatan public memang tidak baik. Karena kalau perusahaan keluarga, resikonya hanya ditanggung oleh keluarga itu sendiri. Sedangkan jabatan public, resikonya ditanggung oleh masyarakat banyak.

(T) : Tetapi kan lebih banyak agama kami, karena kami tidak mengenal kelas.
(AH) : Di agama anda, kawan, ada pembagian orang beriman lawan orang kafir. Ini adalah penggolongan atau kelas yang jauh lebih berbahaya, karena ada perintah agar orang beriman menaklukan atau memusnahkan orang kafir. Dan ajaran ini telah membawa penderitaan bagi jutaan manusia sepanjang sejarah. Ini adalah apartheid agama. Bila apartheid politik di Afrika, berkat perjuangan Nelson Mandela, yg terinspirasi oleh metode perjuangan non-kekerasan oleh Mahatma Gandhi, ini justru masih dianggap suci (artinya tidak terdapat kekerasaan dan penyiksaaan)

4. Kafir dan penyembah berhala

(T) : Kamu orang Hidu kamu orang kafir
(AH) :Apaan sih artinya kafir?

(T) : Kafir artinya, orang yang tidak percaya atau tidak beriman kepada Tuhanku, nabiku dan kitab suciku. Orang kafir adalah musuh Allah.*
(AH) : Memang saya tidak percaya kepada Tuhanmu, nabimu dan kitab sucimu. Tapi saya percaya dgn Sang Hyang Widhi, percaya dgn Weda, percaya dengan para maharsi. Saya sembahyang agama saya memiliki ajaran etika dan moral yg baik. Tetapi sekalipun kamu tidak percaya kepada apa yang saya percayai saya tidak menyebut kamu kafir atau sebutan sehina itu.

(T) : Mengapa?
(AH) : Karena saya diajarkan untuk berfikir, berkata dan berbuat baik. Saya diajarkan agar tidak menghina orang lain, agar tidak merendahkan agama orang lain. Ajaran itu namanya Tri Kaya Parisuda. Apakah di agama-mu diajarkan Tri Kaya Parisuda? Kamu harus berhati-hati menuduh orang lain dengan sebutan merendahkan atau yang bernada kekerasan
.
(T) : Kenapa?

(AH) : Karena kata-kata yang mengandung kekerasaan atau kebencian, selangkah lagi bisa melahirkan tindakan kekerasan.

(T) : Kamu menyembah berhala . Memuja patung.
(AH) : Manusia adalah mahluk yang menggemari symbol. Negara kita dan lembaga – lembaga memiliki banyak symbol. Negara kita misalnya memiliki bendera yang berwarna merah dan putih yang kita hormati. Yang kita hormati bukan 2 lembar kain berwarna merah dan putih yang dijahit jadi bendera, tetapi negara kita yang disimbolkan oleh Sang Dwi Warna. Dan bendera merah putih ada di setiap kantor. Patung gambar atau pratima, adalah symbol, lambang. IA hanyalah symbol, lambang. Ia hanyalah alat bantu untuk konsentrasi.
Kamu kan juga sembahyang menghadap ka'bah, apakah itu berarti kamu menyembah ka'bah? Waktu naik haji kamu mencium-cium batu hitam (hajar aswad) yang ada lobang di tengah-tengahnya, apakah berarti kamu menyembah batu hitam itu? Di gereja juga ada lambang salib di mana tubuh Yesus yang sudah jadi mayat dipaku mengelayut. Bukankah ini lambang yang seram dan suram? Di gereja Katolik juga banyak
patung santo, orang suci dan Maria.

5. Agama Bumi dan Agama Langit

(T) : Kawan agamamu, adalah agama Bumi, sedangkan agamaku adalah agama samawi?

(AH) : Apa maksudnya agama bumi dan agama samawi
(T) : Agama Bumi / agama budaya, artinya kitab sucimu agamamu buatan manusia. Sedangkan agama samawi artinya kitab suci agamaku dibuat Tuhan Samawi artinya langit.
(AH) : Jadi kitab sucimu agamamu dicetak di langit?
(T) : Bukan dicetak dilangit. Tetapi isi kitab suci agamaku merupakan wahyu Tuhan yang bermukim di langit ke tujuh, disampaikan oleh malaikat kepada nabiku. (Menurut Kristen kitab suci itu ditulis oleh banyak pengarang yg mendapat inspirasi dari Tuhan).
(AH) : Kalau kitab suciku yang banyak jumlahnya itu diperoleh dengan 2 cara. Yang pertama, ditemukan, dilihat atau didengar oleh para maharsi ketika jiwa mereka bersatu dengan Tuhan, dalam agama Hindu ini disebut Samadhi / Anubhava. Cara kedua, adalah Tuhan sendiri menjelma ke Bumi sebagai manusia, disebut Avatara, dan menyampaikan ajarannnya secara langsung kepada manusia, seperti Krishna yang lahir ke dunia dan menyampaikan ajarannya secara langsung kepada manusia seperti Krishna yang lahir ke dunia dan menyampaikan ajarannya langsung kepada arjuna. Jadi perantara atau melalui ilham tetapi scara langsung diperoleh dari sumbernya yaitu Tuhan sendiri, yang dalam agamaku disebut Brahman. Atau diajarkan secara langsung oleh Tuhan sebagai Avatara kepada manusia.

(T) : Tentu saja kitab suciku lebih baik, lebih asli.
(AH) : Itu kan keyakinanmu. Tetapi kenapa kitab sucimu yang katanya diturunkan dari Tuhan di langit, terdapat banyak kesalahan, seperti misalnya dikatakan bumi ini datar seperti hamparan tikar, padahal bumi ini bundar ; atau matahari mengelilingi bumi, padahal bumi yang mengelilingi matahari sambil berputar pada orbitnya. Jika betul kitab sucimu sepenuhnya buatan Tuhan, harusnya tidak ada kesalahan sedikitpun. Disamping itu kitab sucimu juga penuh berisi ancaman, kutukan, kata-kata kebencian dan kekerasan? Kata-kata semacam itu tidak ditemukan di dalam kitab suci Hindu.

6. Tiga jenis agama

(T) : Jadi agama-mu juga agama langit?
(AH) : Aku tidak suka sebutan agama langit itu
.
(T) : Kenapa?
(AH) : Pertama, nama agama langit itu mengesankan bahwa Tuhan itu bersembunyi di langit. Menurut keyakinanku, seperti sudah kujelaskan sebelumnya, Tuhan ada di mana-mana, termasuk di bumi ini, tetapi tidak dapat dilihat oleh mata jasmani kita, karena Tuhan bersifat rohani. Kedua, agama langit mengesankan agama untuk para penghuni langit, bukan untuk manusia yang hidup di permukaan bumi
.
(T) : Jadi agama-mu termasuk golongan agama apa?
(AH) : Ada beberapa penggolongan agama. Ada yang menggolongkan agama-agama sebagai (1) agama suku, seperti Shinto; (2) agama hukum, seperti agama islam dan Yahudi ; (3) agama pembebasan seperti agama Hindu, Buddha dan Kristen. Ada yang menggolongkan agama berdasarkan wilayah, seperti rumpun Yahudi (sekarang disebut agama-agama Abrahamik) seperti agama Yahudi, Kristen, dan Islam, dan agama timur, seperti agama Hindu, Buddha, Jaina, Sikh, Konghucu, Shinto dan Tao. Ada yang menggolongkan agama menjadi agama kenabian, agama etnis dan agama universal, seperti yang dibuat oleh Prof Dr. Ramdas Lamb, Associate Professor, Dept. of Religion, university of Hawaii
.
(T) : Coba Jelaskan ..
(AH) : Ada tiga jenis agama. Pertama, agama kenabian, yaitu agama yang berpusat pada ajaran dan kehidupan seorang nabi. Di dalam agama jenis ini kesetiaan kepada satu jenis pengajaran menjadi penting. Kebenaran mereka adalah satu-satunya kebenaran dan harus diikuti. Ini adalah jenis kesadaran yang ada di dalam Kekristenan dan Islam. Jika anda adalah orang Kristen atau Islam anda baik dan akan pergi ke sorga tetapi semua yang lain akan pergi ke neraka. Bagi orang Kristen atau Islam yang baik, Kekristenan atau islam itu adalah lebih penting dibanding keluarga anda, dibanding komunitas anda dan bahkan lebih penting dibanding Negara anda. Maka agama anda menjadi lebih penting dibanding ibu bapak anda dan saudara anda. Anda dapat meninggalkan setiap orang tetapi bukan Kekristenan atau Islam.
Jadi dalam hal ini, toleransi kepada orang lain adalah jelek dan konsep tentang toleransi tidak hadir. Ketika anda bertobat menjadi agama profetik macam ini anda mendapatkan sikap bahwa anda akan ke sorga sedangkan yang lain akan ke neraka. Anda benar dan yang lain adalah salah. Ini bisa
bahkan menjadikan anda sedikit sombong.”

(T) : Jenis kedua?
(AH) : Tipe yang kedua adalah agama etnik. Agama macam ini didasarkan pada suatu kelompok orang. Jika anda tidak menjadi milik etnisitas itu anda tidak bisa jadi bagian dari agama itu. Sebagai contoh jika anda bukan orang Jepang anda tidak bisa menjadi seorang Shinto. Jadi ini adalah suatu konsep yang sangat kecil tentang agama. Agama macam ini sangat diikat oleh genetika.
(T) : Jenis ketiga?
(AH) : Tipe yang ketiga adalah salah satu dari agama universal dan Hindu adalah salah satu dari agama universal atau agama dunia utama. Hindu adalah agama non-konversi terbesar. Ini adalah agama yang tidak melakukan proselitasi. Ketika anda menjadi seorang penganut suatu agama universal, anda mendapat kesadaran. Tujuan dari agama universal adalah untuk memperluas kesadaran. Maka kita bertumbuh dan kita menambahkan, kita tidak mengurangi. Anda menambah kesadaran dan menambah keawasan.

(T): Apa sih artinya?
(AH) : Artinya agama universal itu mengajarkan tiap manusia adalah satu jiwa dan jiwa tidak mempunyai batasan apapun. Oleh karena itu otak anda tidak diikat oleh batas-batas apapun
Menurutku, agama kenabian itu, sebenarnya agama tribal (suku) yang diglobalkan dengan kekerasan. Kenapa? Karena agama ini menghancurkan budaya-budaya religius asli dan digantikan dengan budaya suku dari mana nabi itu berasal. Sedangkan agama universal memelihara budaya yang sudah ada dan hidup dalam jiwa dari setiap pemeluk agama ini. Karena itu agama universal memelihara keanekaragaman
*Tambahan seperti pelaksanaan sembahyang di Bali / Indonesia berbeda dengan di India berbeda pula di Luar negeri disesuaikan dengan budaya kita masing-masing tanpa pemaksaan tapi satu tujuan.
Catatan : Robert Z. Zaecher, sejarahwan agama terkemuka Inggris mengatakan “Di dalam keluarga agama-agama, Agama Hindu adalah seorang Ibu bijaksana yang mengetahui semuanya. Pustaka sucinya, Weda, menyatakan, ‘Kebenaran adalah satu, tetapi orang-orang bijaksana menyebutnya dengan nama-nama berbeda.’ Seandainya Islam, dan semua kitab suci agama monoteis lainnya, telah mempelajari pelajaran itu, semua sejarah mengerikan dari perang-perang agama (yang mereka lakukan) mungkin telah dapat dihindarkan. Di mana agama yang lain mempunyai Tuhan berkata, seperti Krishna di dalam Bhahgavad Gita, ‘ Semua jalan menuju kepada-Ku.’”
Ia menyesal bahwa : “seandainya Gereja mempunyai pemahaman untuk mengizinkan begitu banyak pendekatan kepada Tuhan, betapa akan lebih waras sejarahnya!”

7. Manusia Pertama
(T) : Di dalam agamaku manusia pertama adalah Adam atau nabi Adam. Siapa manusia pertama menurut agama Hindu?
(AH) : Kami tidak tahu siapa , manusia pertama di dalam agama Hindu.
(T) : Kenapa?
(AH) Karena agama Hindu percaya bahwa alam semesta ini diciptakan secara evolusi. Dalam Taitirinya Upanisad, dikatakan bahwa ether (akhasa) dating dari Atman, udara, dari ehther, api dari udara, air dari api, dan bumi dari air. Tumbuhan dari bumi, makanan dari tumbuhan, dan manusia dari makanan. Memang tidak sama dengan teori evolusinya Darwin, yang bersifat materi. Tetapi kedua teori evolusi ini meliliki kemiripan, bahwa alam semesta serta isinya diciptakan dan berkembang secara perlahan. Bukan diciptakan dalam enam hari seperti kitab suci anda. Lagi pula menurut saya Adam adalah semacam legenda dari bangsa Yahudi bukan suatu kisah sejarah atau kisah sebenarnya.
(T) : Mengapa demikian ?
(AH) : Di dalam kitab sucimu dikatakan, setelah menciptakan Adam dari tanah liat, Tuhan menciptakan Eva (Hawa) dari salah satu tulang rusuk Adam. Tuhan menempatkan mereka di taman Edden. Karena mereka memakan buah pohon pengetahuan, Tuhan marah dan mengusir mereka dari sorga ke bumi. Di bumi mereka mempunyai dua anak laki-laki, Abil dan Cain. Setelah kedua anak laki-laki ini dewasa mereka kawin dengan dua anak perempuan. Nah siapa kedua anak perempuan ini? Pastilah anak dari orang tua yang sebaya dengan Adam dan Eva (Hawa). Jadi, Adam bukanlah manusia pertama, karena di samping ternyata dia sudah ada orang lain yang menjadi besannya/mertua nya, atau mertua anak-anaknya. Kawan, di AS, ajaran tentang penciptaan alam semesta 6 hari (kreasionis) dilarang diajarkan di sekolah-sekolah. Yang boleh diajarkan hanyalah penciptaan alam semesta menurut teori evolusi.
(T) : Menurut agamaku, manusia dibuat dari tanah liat, dari debu padang pasir dari air kotor. Menurut Hindu dari apakah manusia dibuat?
(AH) : Di dalam agamaku manusia dibuat dari dua unsur yaitu materi (prakerti) dan jiwa (purusa). Bukan dari bahan hina. Jadi menurut agamaku manusia pada intinya adalah suci, bukan dosa atau budak
Catatan :
Sir Monier-Williams, ahli tentang India (Indolog) dan penyusun kamus Sansekerta Inggris yang paling lengkap mengatakan : “ Orang-orang Hindu, adalah pencipta evolusi, berabad-abad sebelum Darwi dan doktrin Evolusi diterima oleh para ilmuan dewasa kini.”



Bersambung .........


Selasa, 22 November 2016

Arti Sarana Persembahyangan


 Om Swastiastu
Setiap agama tentunya memiliki cara yang berbeda dalam melakukan pendekatan dengan Tuhan atau Yang Maha Kuasa. Hindu misalnya memiliki tata cara tersendiri dalam melakukan ibadah atau sembahyang yang sering disebut dengan Tri Sandhya.


Dalam Hindu pemujaan kepada yang Nirguna (tidak dapat diwujudkan) perlu menggunakan sarana-sarana sebagai penguhubung antara yang menyembah dan yang disembah. Adanya bangunan Padmasana merupakan salah satu sarana untuk dapat menjadikan yang Nirguna tersebut sehingga menjadi Saguna (bisa dipikirkan atau diwujudkan). Sarana-sarana dalam persembahyangan inilah yang bisa dijadikan penghubung dalam melakukan pemujaan kapada Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Ada beberapa sarana yang digunakan umat Hindu dalam melakukan persembahyangan. Seperti Bunga/Kwangen, Dupa, Air, dan Beras/Bija. Sarana-sarana yang digunakan ini tentu tanpa memiliki makna. Justru sarana ini digunakan karena memiliki makna yang begitu suci yang dipercayai oleh umat Hindu dapat mengantarkan doa yang kita lantunkan atau kita ucapkan pada saat sembahyang.

1. Bunga
Bungan merupakan perlambang ketulus ikhlasan dan kesucian hati untuk menghadap pada sang pencipta. Bunga mempunyai dua fungsi penting yaitu: a) Sebagai simbul Tuhan (Siwa). b) Sebagai sarana persembahan. Bunga sebagai simbul Tuhan diletakkan di ujung cakupan tangan pada saat menyembah dan sesudahnya bunga tersebut diletakkan di atas kepala atau disumpingkan di telinga. Bunga sebagai saranha persembahan maka bunga dipakai mengisi sesajen. 

Dalam Kekawin Negara Kerthagama dijelaskan bunga dipakai Upacara Saradha yaitu upacara penyucian Roh Leluhur tahap kedua di Bali disebut Puspa Lingga. Tahap pertama dinamakan Puspa Sarira yang artinya berbadan bunga. Inilah yang dibakar sebagai simbul badan manusia. Tujuannya agar jiwatman bisa menyatu ke alam Ketuhanan yang dinamakan Mur Amungsi Maring Siwa Buda Loka.

Fungsi bunga berbeda beda tidak setiap bunga bisa dipakai sebagai sarana persembahyangan. Untuk bunga yang paling baik menurut ajaran agama dan multi guna adalah bunga Teratai. Bunga ini akarnya di lumpur daunnya di air dan bunganya membujur di udara.

Selain bunga juga sering digunakan kwangen dalam persembahyangan atau keramaning sembah. Kwangen dalam fungsinya melambangkan tiga unsur kekuatan suci Tuhan yaitu Tri Murti (brahma, wisnu, dan siwa).  Sedangkan di dalam Bradhara Upanisad menegaskan bahwa kwangen adalah simbol Ida Sanghyang Widhi sedangkan Lontar Sri Jayakasunu menjelaskan bahwa kwangen adalah simbolik Aksara suci OM (Omkara). Jelas kedua sumber ini menunjukkan bahwa kwangen adalah simbul atau perlambang wujud visual Ida Sanghyang Widhi Wasa. 

Disamping itu ada juga pendapat bahwa kwangen itu adalah lambang ketulus ikhlasan dan keterpusatan pikiran kehadapan Ida Sanghyang Widhi. Itulah sebabnya bahwa dalam kehidupan sehari-hari perlu dikembangkan rasa ketulus ikhlasan itu. Sebab tanpa rasa tulus dan ikhlas kepada Ida Sanghyang Widhi, maka manusia akan menjadi resah, gelisah dan tidak tenang. Karena itu akan sulit berhubungan dengan kekuatan-kekuatan Mahasuci Ida Sanghyang Widhi. Kwangen sebagai simbul Ida Sanghyang Widhi dapat pula dilihat dari tiga unsur utama yang dipergunakan untuk membuat kewangen itu, yakni : 

- Kojong dari daun pisang yang melambangkan Arda Candra (bulan sabit).
- Jinah bolong yang bentuknya bundar melambangkan Windu (matahari).
- Chili atau reringgitan janur yang melambangkan Nada (bintang).

Dengan demikian kwangen digambarkan sebagai bulan, matahari dan bintang yang melambangkan alam semesta dan merupakan stana Ida Sanghyang Widhi. Disamping ketiga bahan utama diatas, di dalam kwangen juga terdapat porosan silih asih, plawa, dan bunga. Porosan silih asih merujuk kepada kemahakuasan Ida Sanghyang Widhi yang bersifat Ardanareswari (Purusa pradana). Penyatuan Purusa dan pradana ini melahirkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Hal ini menjelaskan kepada kita betapa Ida Sanghyang Widhi dalam wujudnya sebagai Purusa Pradana memberi kemakmuran dan kebahagiaan lahir bathin kepada manusia.

2. Dupa
Dupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar sehingga berbau harum dan menyala sebagai lambang Agni dan berfungsi sebagai saksi atau perantara yang menghubungkan pemuja dengan yang dipuja. Sebagai pembasmi segala mala dan pengusir roh jahat. Sebagai saksi dalam upacara.

Kalau kita renungkan fungsi dan arti dupa dalam upacara persembahyangan yang dipimpin pendeta punya arti sangat dalam. Dupa berasal dari Wisma yaitu alam semesta dan asapnya secara perlahan menyatu ke angkasa inilah sebagai perlambang menuntun umat agar menghidupkan api dalam raga dan menggerakkan menuju Sanghyang Widhi.

Pemangku atau Pinandhita dalam memimpin upacara menggunakan api dalam bentuk Pasepan yang isinya: Menyan, Majegau dan Cendana dibakar agar berasap dan berbau. Maknanya sbb: Menyan untuk memuja Dewa Siwa, Majegau untuk memuja Dewa Sada Siwa dan Cendana untuk memuja Parama Siwa. Disinilah Pemangku/Pinandita menggunakan Puja Seha sebagai medianya. Mengenai pasepan/asep sangat jelas terdengar pada bait Kidung Warga Sari yang biasa disuarakan pada upacara panca yadnya sebagai permohonan agar para Dewata segera turun. 

Makna Dupa sebagai pembasmi segala kotoran tampak jelas pada persembahyangan sehari hari. Api juga sebagai saksi upacara dalam kehidupan. Dalam persembah¬angan dupa sebagai saksi dan asapnya sebagai lambang gerakan rohani ke angkasa sebagai stana para Dewa. Dupa sebagai sarira Sanghyang Agni maha melihat perbuatan manusia. Dalam Mitos Hindu yang terdapat pada Lontar Siwa Gama dijelaskan saat rapat para dewa di Sorga yang dipimpin oleh Dewa Siwa, saat itu hadir pula Dewa Surya, oleh karena penampilan Dewa Surya sangat simpatik maka dewa Siwa menganugrahkan tugas agar mewakili dirinya di dunia yaitu sebagai saksi alam semesta.

3. Air
Air merupakan sarana yang Penting dalam persembahyangan. Menurut jenisnya air yang dipakai dalam persembahyangan air dibedakan atas dua macam yaitu: 1. Air untuk pembersihan secara pisik. 2. Air suci (tirtha). Berdasarkan cara pembuatannya tirtha dibedakan atas dua jenis tirtha yang dimohonkan pada Tuhan dan tirtha yang dibuat oleh pandita melalui mantra atau puja.

Air suci (tirtha) berfungsi sebagai pembersihan diri dan kecemaran pikiran sabda, bayu dan idep. Tirtha pada dasarnya merupakan air biasa bila diuraikan secara kimia maka unsurnya adalah H2O tetapi karena dilandasi dengan kepercayaan dan keyakinan agama maka materi tersebut disakralkan sehingga mampu menumbuhkan keheningan pikiran bahkan memiliki kekuatan magis.

4. Bija
Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an/Kedewataan  yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang.  Sehingga disarankan agar dapat menggunakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata). Alasan ilmiahnya, beras yang pecah atau terpotong tidak akan bisa tumbuh.

Dalam menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an / Kedewataan dalam tubuh, tentu meletakkannya juga tidak sembarangan. Ibaratnya menumbuh kembangkan tananam buah kita tidak bisa menamamnya sembarangan haruslah di tanah yang subur. Maka dari itu menaruh bija di badan manusia ada aturannya, agar dapat menumbuh kembangkan sifat kedewataan /ke-Siwa-an dalam diri.
Hendaklah Bija di letakkan pada titik - titik yang peka terhadap sifat kedewataan, dan titik - titik itu adalah :

1.  Di pusar yang disebut titik manipura cakra.
2.Di hulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling terkonsentrasi di dalam bagian padma hrdaya ini (hati berbentuk bunga tunjung atau padma). Titik kedewataan ini disebut Hana hatta cakra.
3.     Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan yang disebut wisuda cakra.
4.            Di dalam mulut atau langit-langit.
5.    Di antara dua alis mata yang disebut anjacakra.sebenarnya letaknya yang lebih tepat, sedikit diatas, diantara dua alis mata itu.

Pharapan agar mendapatkan kebahagiaan.
3.                        Di mulut, langsung ditelan jangan digigit atau dikunyah. Alasannya seperti tadi kalau dikunyah beras itu akan patah dan akhirnya tak tumbuh berkembang sifat kedewataan manusia.Sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.
Semoga Bermanfaat
Om Shanti shanti shanti Om


MAKNA DAN FILOSOFI KAIN / SAPUT POLENG

            Pada kegiatan Studi Budaya SMA Negeri  Manyar Gresik beberapa waktu yang lalu tepatnya pada tanggal 23-27 April 2015 kami berkesempatan untuk mengunjungi banyak tempat wisata  di Pulau Bali yang disekitarnya banyak bangunan dan tempat yang diberikan aksen kain poleng ini. Seperti di Pantai Sanur, Pantai Kuta, Istana Tampak Siring, Pertunjukkan Seni Barong, Pasar Tradisional Sukowati, dsb. Kami mencari banyak informasi yang berkaitan dengan kain / saput poleng ini karena kain tersebut menarik perhatian dan memancing rasa penasaran kami. Salah satu sumber informasi kami adalah tour guide kami yang memang berasal dari keturunan orang Bali asli. 


Beberapa informasi yang kami peroleh adalah sebagai berikut.

            Kain / Saput Poleng adalah kain yang bermotif kotak dengan warna hitam-putih yang sudah menjadi bagian dari kehidupan religius umat Hindu di Bali sehingga kain poleng (kotak-kotak hitam-putih) ini menjadi salah satu icon ciri khas Bali. Tidak saja digunakan untuk keperluan religius yang sifatnya sakral, kain poleng juga banyak digunakan untuk hal-hal yang sifatnya profan atau sekuler.
             Arti Saput Poleng dalam bahasa Bali ‘saput’ artinya selimut, dan ‘poleng’ artinya belang. Selimut belang  yang bercorak kotak-kotak hitam-putih ini merupakan khas dari Bali. Dalam kontek adat di Bali, ‘saput’ juga bermakna busana, yang dalam bahasa Bali halus disebut ‘wastra’.  Sehingga ‘saput poleng’ diartikan sebagai ‘busana bercorak kotak persegi warna hitam-putih yang dipergunakan secara khusus’.
            Menurut tradisi ada tiga jenis Saput poleng yaitu Saput Poleng Rwabhineda, Saput Poleng Sudhamala dan Saput Poleng Tridatu. Saput poleng Rwabhineda berwarna putih dan hitam. Saput poleng Sudhamala berwarna putih, hitam dan abu. Abu sebagai peralihan hitam dan putih,. Artinya menyelaraskan yang baik dan buruk. Saput Poleng Tridatu berwarna putih, hitam dan merah. Merah simbol rajas (keenergikan), hitam adalah tamas (kemalasan), dan putih simbol satwam (kebijaksanaan, kebaikan).
            Kali ini kami akan membahas Saput Poleng Rwabhineda. Saput poleng yang berwarna hitam dan putih ini adalah sebagai cermin baik dan buruk. Rwabhineda juga berarti 2 hal yang berbeda dan yan selalu berdampingan serta tidak bisa dipisahkan. Karena semua itu adalah ciptaan tuhan. Rwabhineda ini diharapkan menjadi penyembang energi positif dan energi negatif yang ada sehingga tidak ada yang mendominasi satu sama lain. Karena apabila salah satunya ada yang mendominasi maka auranya akan menjadi buruk dan dipercaya akan mendatangkan bencana.
            Saput Poleng sebagai simbol masyarakat Hindu di Bali. Penggunaan ‘Saput Poleng’ Kain Kotak Hitam-putih di Bali ini khusus, dalam artian tidak dipergunakan di sembarang tempat dan sembarang acara atau kesempatan. Melainkan hanya ditempat khusus dan acara khusus saja. Penggunaan kain poleng biasa kita jumpai untuk tedung (payung), umbul-umbul, untuk menghias palinggih (tugu), patung, kulkul (kentongan). Tidak hanya benda seni sakral, bahkan pohon yang ada di pura pun banyak dililit dengan kain poleng. Kain poleng juga banyak digunakan untuk menghias benda-benda profan baik di perkantoran maupun di hotel. Misalnya untuk meja makan dan senagai dekorasi ruangan. Kain poleng untuk benda profan ini sering dicampuri dengan corak atau motif baru sehingga disebut kain poleng anyar.
            Demikian pula halnya dalam kesenian Bali, baik itu seni drama, dramatari, maupun Pewayangan. Dalam drama gong, yang sering memakai kain poleng adalah penakawannya. Sedangkan dalam wayang kulit, tokoh yang memakai hiasan poleng, selain penakawan Tualen dan Merdah. 
      
      1.     Saput Poleng di Pura-Pura di Bali. Saput poleng ini khusus dipergunakan untuk bangunan pura termasuk patung yang berada di wilayah paling luar. Selain di pura, juga dipergunakan sebagai umbul-umbul dan payung yang ditancapkan di wilayah pura paling luar juga. Saput Poleng yang digunakan di pura biasanya pada saat upacara adat yang dilaksanakan setiap 6 bulan atau satu tahun sekali di Bali. Pura-Pura tersebut banyak dihiasi Saput Poleng Hitam Putih ini selama 3 hari. Setelah itu kemudian kain dicopot dan disimpan karena kain tersebut dianggap suci. Meskipun kotor, Kain Poleng ini tidak boleh dicuci. Karena di bali mempertahankan kesucian nirmala yaitu suci secara spiritual. Jadi meskipun kainpoleng tersebut kotor tetapi kain tersebut masih dianggap suci secara spiritual.
     
    2.  Saput Poleng di Pekarangan dan Rumah di Bali. Pekarangan dan rumah orang Bali pun menggunakan tata ruang dan tata letak tiga mandala seperti pura dalam, tengah dan luar.  Saput poleng dipergunakan di wilayah paling luar, di pura dan patung yang terletak di pekarangan paling luar, biasanya gerbang rumah.
    
    3. Saput Poleng Sebagai Busana Orang Bali.  Saput poleng juga dipergunakan sebagai busana untuk orang Bali itu sendiri. Saput poleng ini khusus dipergunakan hanya pada saat sedang melaksanakan tugas adat ,sehubungan dengan upacara dan upakara di wilayah luar baik itu di pura, rumah atau desa adat. Pecalang misalnya, adalah orang Bali yang sedang melaksanakan tugas adat untuk mengamankan suatu upacara di wilayah luar. Oleh sebab itu para pecalang biasanya menggunakan saput poleng kain kotak-kotak hitam putih sebagai kain, baju dan ikat kepala (udeng/destar). Kain Poleng yang dipakai oleh para pecalang juga terilhami oleh konsep rwabhineda, dimana seorang yang dipercayai oleh warga untuk menjadi “pengaman” hendaknya mampu dengan tegas memilah yang benar dan buruk.

     4. Saput Poleng digunakan sebagai aksen di pohon-pohon besar yang ada di jalan. Di pohon besar ini dipercaya banyak makhluk ghaib yang menghuni pohon tersebut. Sehingga selain sebagai simbol Rwabhineda kain poleng yang di letakkan di pohon ini juga dipercaya dapat melindungi kita agar makhluk tersebut tidak mengganggu. Juga mengingatkan kepada kita agar pohon tidak boleh sembarangan ditebang.
    
        Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa makna dan filosofi kain / saput poleng bagi masyarakat bali sendiri secara keseluruhan adalah sebagai lambang kesucian dan penyeimbang antara hal-hal yan negatif dan positif. Agar keduanya tidak ada yang mendominasi sehingga tidak akan menimbulkan bencana bagi masyarakat bali. Oleh karenanya kain / saput poleng itu sendiri masih dianggap memiliki makna yang sangat sakral dan tetap dipercaya memiliki filosofi yang dapat melindungi masyarakat Bali


Minggu, 20 November 2016

PITRA YADNYA

Kerangka dasar ajaran agama Hindu adalah Tatwa (filsafat), Susila (ethika) danupacara (rituil). Ketingga kerangka dasar tersebut tidak berdiri sendiri tetapi merupakan suatu kesatuan yang harus dimiliki dan dilaksanakan (Anonim, 1968). Kehidupan masyarakat Bali sehari-harinya didasari atas filsafat Tri Hita Karana yaitu kearmonisan hidup yang bahagia dengan tiga sumber penyebab yang tidak lain adalah dari Tuhan, manusia dan alam sekitarnya ( Purnomohadi, 1993). Penerapan Tri Hita Karana dalam pelaksanaan upacara dan yadnya pada kehidupan sehari-harinya adalah sebagai berikut :

1. Hubungan antara manusia dengan Tuhan yang diwujudkan dengan Dewa Yadnya.
2. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra Yadnya, Resi Yadnya dan Manusia Yadnya

3. Hubungan manusia dengan alam lingkungan yang diwujudkan dengan Buhta Yadnya.(Anonim 2000).

Pitra Yadnya berasal dari dua kata yaitu “Pitra” yang berarti Bapak/ Ibu atau leluhur yang terhormat (sinuhun). Dan kata “Yadnya” berarti penyaluran tenaga, sikap, tingkah laku, dan perbuatan atas dasar suci untuk keselamatan bersama atau pengorbanan.Pitra Yadnya adalah pengorbanan yang tulus ikhlas untuk para leluhur dan orang tua. Pitra yadnya wajib dilakukan untuk membayar hutang hidup kepada orang tua dan leluhur yang disebut Pitra Rna.Tanpa ada leluhur dan orang tua sangat mustahil kita akan lahir di dunia ini. Oleh karena itu hutang hidup ini harus dibayar dengan bentuk Upacara Pitra Yadnya.
            Sedangkan menurut I Gusti ketut Kaler menyatakan bahwa Pitra yadnya secara harfiah terdiri dari dua kata yakniPitra dan YadnyaPitra berarti orang tua (Ayah dan Ibu) dalam pengertian yang lebih luas, bisa disebut leluhur. Sedangkan Yadnya  berarti pengorbanan yang dilandasi hati yang tulus iklhas nan suci. Jadi, Pitra . Jadi, Pitra Yadnya berarti pengorbanan yang dilandasi hati yang tulus nan suci kepada leluhur terutama orang tua”. (Kaler,1993:3)                 
            Disamping bentuk upacara pitra yadnya, yang lebih penting dilakukan masa kini adalah bagaimana usaha kita untuk menjunjung nama baik dan kehormatan leluhur dan orang tua. Jadi pitra yadnya dalam kaitan kewajiban sebagai siswa adalah dengan belajar sebaik-baiknya sebagaimana harapan orang tua. Melayani orang tua semasih hidup dengan ikhlas serta tidak mengecewakan dan menyakiti hati orang tua adalah merupakan pitra yadnya utama.

Dasar-dasar adanya Pitra Yadnya.
1)  Berdasarkan keyakinan, bahwa dengan merasa diri seseorang menjadi anak dari seorang bapak/ibu, maka sadarlah seseorang bahwa ia lahir dan dipelihara sejak kecil sampai dewasa oleh bapak/ibu.
2)  Kesadaran diri akan hal tersebut diatas, makasadar pula akan dirinya yang memiliki hutang yang besar kepada bapak/ibu yakni berhutang jasa. Sesuai dengan Manawa Dharma Sastra No.127, upacara yang ditujukan kepada leluhur sangat mulia sifatnya, karena roh leluhur merupakan dewa terdekat bagi umat hindu setelah disucikan.
3)  Kesadaran akan diri, bahwa dalam hidup ini berhutang jasa terhadap orang tua baik semasih orang tua hidup dan setelah orang tua meninggal dunia, dalam agama Hindu disebut Pitra Rnam.
4)  Jika disimpulkan, jelaslah bahwa dasar adanya Pitra Yadnya adalah Pitra Rnam.
5)  Barang siapa sadar akan dirinya, ia berhutang kepada orang lain, maka iapun harus sadar akan dirinya mempunyai kewajiban untuk membayarnya. Demikian kesadaran akan dirinya bahwa dalam hidup ini kita memegang Pitra Rnam, maka harus sadar pula untuk melaksanakan Pitra Yadnya. Pada perinsip melakukan Pitra Yadnya adalah kewajiban hidup bagi seorang anak.

Ngaben menurut keadaan jenasah ada 3 (tiga), yaitu :
Sawa Wedana : Ngaben yang layon/jenasahnya langsung dibakar/kremasi
Asti Wedana : Ngaben dimana layon/jenasah orang yang diaben terlebihdahulu ditanam disetra, setelah beberapa lama (umumnya setelah satu tahun) tulang belulangnya diangkat untuk diaben.
Svasta : Ngaben dimana layon/jenasah orang yang mau diaben tidak ditemukan (pejah ring sunantara).

Proses ”PITRA YADNYA”
Proses Ngaben Sawa Wedana, Asti Wedana, dan Svasta, secara umum adalah sbb :
Sawa Wedana :
  1. Nyiramang Layon (prosesi Nyiramang layon seperti : mekerik kuku, mesigsig, dll termasuk tirta selengkapnya)
  2. Layon digulung dengan kain putih yang sudah dirajah, diletakkan di bale gede/saka roras atau tempat yang telah disediakan.
  3. Sampai pada hari ”pengutangan” maka dilaksanakan ”Pelebon” diawali dengan Upacara ”Ngaskara” dan Caru Pengelambuk, lalu layon dinaikkan diusungan lalu berangkat ke setra.
  4. Dalam perjalanan disebar ”sekar ura (beras kuning,uang kepeng/bolong,daun temen, kembang rumpai)”, maksudnya perpisahan yang meninggal dengan keluarga agar keluarga selalu diberikan kesejahtraan & kemakmuran.
  5. Pada persimpangan (perempatan) dilakukan pemutaran/mesirig sebanyak tiga kali kekiri/berlawanan arah jarum jam (prasawya) dengan filosopi perpisahan antara yang meninggal dengan desa pakraman/masyarakat Biasanya diiringi Baleganjur untuk membangunkan unsur Panca maha bhuta.
  6. Setelah sampai disetra juga ditempat pembakaran/pembasmian, dilakukan lagi pemutaran/mesirig, lalu usungan diturunkan.
  7. Ngaturang piuning ke Pura Dalem dan Prajapati dengan menyertakan ”Daksina Linggih” sebagai perwujudan atma yang meninggal.
  8. Layon ditempatkan ditempat yang disediakan, dibuka, diberi/diperciki tirta Penglukatan, pembersihan, kahyangan tiga, kawitan, dan terakhir pengentas. Dilanjutkan dengan Ngayabang banten yang diletakkan didada berupa daksina tadi dengan kelengkapannya, barulah dilakukan”pembakaran”.
  9. Sisa pembakaran berupa tulang/galih dipungut dan ditaruh pada sesenden/dulang tanah sebagai alas penguyegan lalu ditumbuk dan ditaruh pada nyuh gading yang sudah dikasturi sebagai wujud ”Puspa Asti”. Sisa galih dibersihkan dengan sarana kukusan dan kain kasa putih selanjutnya dibentuk/direka shg menyerupai orang-orangan diatas kain putih yang telah dirajah beralaskan klasa. Rekaan tersebut diisi kwangen 22 (dua puluh dua)ditaruh pada: ubun ubun, mata, telinga, dahi, hidung, mulut, kerongkongan, puser, huluhati, perut, kemaluan, pantat, kaki, tangan, jari-jari.
10. Selanjutnya ”Puja Utpati” yang dilakukan oleh Sulinggih/Pandita untuk memberi tuntunan serta menghidupkan dan mempertemukan rekaan/Cili (Badan wadag) dengan Puspa Asti (Atma).
11. Sisa galih dibungkus dengan kain putih berbarengan penempatannya dengan alat/sarana pembersihan dan disertakan dalam proses Nganyut. Sehingga proses akhir dari rangkaian upacara ini adalah ”Upacara Nganyut” ke Segara atau sungai yang bermuara kelaut.
12. Setelah itu dilanjutkan dengan upacara ”Ngangkid”, kembali dibentuk berupa Puspa Lingga atau Daksina Linggih.
13. Dilanjutkan dengan ”Ngerorasin” di Pura Dalem dimana Puspa Lingga tersebut dibuka ”Keampigang” bila upacara sampai disini.
14. Pembersihan terakhir adalah diadakan ”Pecaruan” di pekarangan rumah, Mrajan, serta Mrajan dadia.

Untuk ”Asti Wedana dan Svasta” perbedaan kalau Asti Wedana ada ngangkid tulang belulang sementara Svasta Wedana untuk sawa diganti dengan ”Tirtha (Toya Carira). Prosesnya adalah sbb :
1. Diawali membuat ”Tegteg” yaitu bentuk manusia terbuat dari kayu cendana atau cukup berupa ”Daksina Pengawak” dihias sedemikian rupa diberi gambar orang sesuai jenis kelamin dan diberi pipil nama.
2. Tegteg diiring ke Pura dalem tujuannya matur piuning serta memohon Atma yang akan diaben. Acara ini cukup oleh Pinandita/Pemangku.
3. Dilanjutkan dengan upacara ”Ngulapin” di Pura Mrajapati.
4. Selanjutnya ”Ngeplugin” diatas kuburan, dengan memukulkan ”upih (pelepah daun pisang) sebanyak tiga kali.
5. Upacara ”Ngangkid/Ngendagin” dipimpin oleh Pandita/Sulinggih, bila telah dibongkar dan ditemukan tulang belulang, maka diletakkan uang kepeng (200 kepeng) yang diikat dengan dimana ujungnya dipegang oleh pratisentana sebagai ungkapan semua keluarga siap melaksanakan upacara.
6. Tulang belulang diangkat dan ditempatkan di Bale Panusangan/pesiraman dibuat setinggi ulu hati dari bahan kayu dadapdan diberikan leluwur kain putih yang telah dirajah. Tulang belulang dibersihkan dan dibungkus dengan kain putih hal ini disebut ”Ngringkes” lalu diletakkan disuatu tempat yang disediakan masih diareal setra.
7. Tegteg diletakkan diatas bungkusan tulang belulang tersebut lalu diupacarai sebagai layaknya sawe utuh lalu ditempatkan di ”Tumpang Salu”.
8. Proses selanjutnya adalah sama seperti ”Sawa Wedana (point 8) berupa pembakaran tulang belulang diawali dengan ”Ngaskara” dan seterusnya sampai ”Ngelinggihang Dewa Hyang”.

Ngelunggah (Ngerapuh) :
Anak yang telah ”tanggal gigi” diperlakukan seperti Pitra Yadnya orang dewasa, sedangkan untuk anak/bayi yang ”kurang dari tigang sasih” dilakukan dengan ”mependem” saja, bila dilakukan upacara atiwa-tiwa disebut dengan ”Ngelunggah atau Ngerapuh”. Proses Ngelunggah adalah :
  1. Piuning ke Pura Dalem
  2. Piuning ke Mrajapati
  3. Piuning ke Sedahan Setra
  4. Piuning di Bambang rare
  5. Banten kepada roh bayi dan tirta pengerapuh.
Prosesnya: dengan banten yang sudah tersedia dan dipimpin oleh Pemangku, dilakukan pemujaan agar roh sang bayi disucikan kembali, selanjutnya diperciki tirta yang telah dimohon pada : Mrajapati, Kemulan, Kahyangan tiga, dan lainnya, terakhir bambang diratakan dan semua banten dipendem.

Ngelanus
Bila Upacara Pitra Yadnya dilakukan ”tanpa adanya jeda waktu” maka disebut dengan”Ngelanus atau Numandang Mantri”. Ngelanus ini mulai banyak dilakukan karena lebih effisien dan lebih cepat, prosesnya adalah :
Setelah ”Nganyut”, seketika itu :
mapegat mangening-ngening, mecaru, ngerorasin, nyepuh, dilanjutkan dengan ”Penyekahan”, ngalap don bingin, ngajum sekah.
Setelah Ngadegang sekah sebagaimana mestinya, selanjutnya di Pralina (kageseng) dan kembali diwujudkan dengan Ngadegang Puspa Lingga diakhiri dengan Nganyut ke Segara.
Selanjutnya Ngulapin Sang Dewa Pitara untuk dilinggihkan di Pemrajan dan bila sudah waktunya diadakan me-ajar-ajar, barulah dilinggihkan sebagai Dewa Hyang pada sanggah Mrajan Dadia, Pemaksan (Ngwangi) jika diperlukan.
Kajang dan Berbagai Tirta
Semua bentuk Pitra Yadnya patut menggunakan ”kain kajang” selengkapnya sesuai dengan kepatutan masing-masing, juga tirta tunggangdari Bhatara Kawitan/leluhur, juga ketika melakukan Nyekah/Memukur (Atma Wedana) perlu menggunakan Tirta Pingit serta Damar Kurung, agar semakin sempurna prosesi Pitra Yadnya tersebut. Hal yang selalu ada pada Pitra yadnya adalah : Tirta Panembak, Tirta pemanah, Tirta Pengentas, Tirta pambersihan, serta tirta lainnya.
a. Tirta panembak digunakan saat memandikan Layon, tirta ini mengandung makna membersihkan jasad/angga sarira orang yang meninggal dari kotoran-kotoran lahir batin. Toya ini diperoleh pada tengah malam dan mengambilnya pertama dari hilir ke hulu secepat kilat. Saat memandikan mayat, tirta panembak akan dipergunakan dari hulu ke hilir.
b. Tirta pangelukatan tirta ini mengandung arti bahwa orang yang diabenkan diruwat mala pataka- nya oleh tirta ini.
c. Tirta pamanah . Satu jenis air suci yang diperoleh dari sumber air suci pada waktu upacara ngening. Orang-orang mencari air suci dengan membawa “panah” yang dibuat dan diberikan mantra oleh pendeta. Air suci itu akan dipakai saat jenazah dimandikan.
d. Tirta pangentas . Kata pangentas berasal dari tas yang berarti putus. Dalam upacara Pitra Yadnya ada istilah tiuk pangentas yang artinya pisau untuk memutuskan tali pengikat gulungan jenazah. Tirta pangentasmerupakan air suci yang dibuat dengan mantra sulinggih sang pamuput , bertujuan memutuskan ikatan purusa dengan prakerti sang mati guna dikembalikan kepada sumbernya masing-masing. Pada pelaksanaan Pitra Yadnya yang besar, tali pengikat purusa dan prakerti dilukiskan sebagai naga banda yang berarti naga pengikat. Dalam lontar Tutur Suksma ada disebutkan bahwa yang dimaksud naga adalah bayu atau energi yang muncul sebagai akibat menyatunya purusa dan prakerti . Tanpa tirtapangentas itu, ikatan purusa dengan prakerti tak akan bisa diputuskan. Bagi orang-orang yogin, mereka telah dapat memutuskan sendiri ikatan dengan kekuatan yoganya sehingga mereka bisa melakukan moksa angga . DalamYoga Kundalini dikemukakan, apabila yoganya telah mencapai titik kulminasi maka akan muncul panas dan dari panas inilah muncul api yang membakarstula –nya. Itu sebabnya, tirta pangentas sangat prinsipil kehadirannya dalam upacara Pitra Yadnya.