Selasa, 22 November 2016

MAKNA DAN FILOSOFI KAIN / SAPUT POLENG

            Pada kegiatan Studi Budaya SMA Negeri  Manyar Gresik beberapa waktu yang lalu tepatnya pada tanggal 23-27 April 2015 kami berkesempatan untuk mengunjungi banyak tempat wisata  di Pulau Bali yang disekitarnya banyak bangunan dan tempat yang diberikan aksen kain poleng ini. Seperti di Pantai Sanur, Pantai Kuta, Istana Tampak Siring, Pertunjukkan Seni Barong, Pasar Tradisional Sukowati, dsb. Kami mencari banyak informasi yang berkaitan dengan kain / saput poleng ini karena kain tersebut menarik perhatian dan memancing rasa penasaran kami. Salah satu sumber informasi kami adalah tour guide kami yang memang berasal dari keturunan orang Bali asli. 


Beberapa informasi yang kami peroleh adalah sebagai berikut.

            Kain / Saput Poleng adalah kain yang bermotif kotak dengan warna hitam-putih yang sudah menjadi bagian dari kehidupan religius umat Hindu di Bali sehingga kain poleng (kotak-kotak hitam-putih) ini menjadi salah satu icon ciri khas Bali. Tidak saja digunakan untuk keperluan religius yang sifatnya sakral, kain poleng juga banyak digunakan untuk hal-hal yang sifatnya profan atau sekuler.
             Arti Saput Poleng dalam bahasa Bali ‘saput’ artinya selimut, dan ‘poleng’ artinya belang. Selimut belang  yang bercorak kotak-kotak hitam-putih ini merupakan khas dari Bali. Dalam kontek adat di Bali, ‘saput’ juga bermakna busana, yang dalam bahasa Bali halus disebut ‘wastra’.  Sehingga ‘saput poleng’ diartikan sebagai ‘busana bercorak kotak persegi warna hitam-putih yang dipergunakan secara khusus’.
            Menurut tradisi ada tiga jenis Saput poleng yaitu Saput Poleng Rwabhineda, Saput Poleng Sudhamala dan Saput Poleng Tridatu. Saput poleng Rwabhineda berwarna putih dan hitam. Saput poleng Sudhamala berwarna putih, hitam dan abu. Abu sebagai peralihan hitam dan putih,. Artinya menyelaraskan yang baik dan buruk. Saput Poleng Tridatu berwarna putih, hitam dan merah. Merah simbol rajas (keenergikan), hitam adalah tamas (kemalasan), dan putih simbol satwam (kebijaksanaan, kebaikan).
            Kali ini kami akan membahas Saput Poleng Rwabhineda. Saput poleng yang berwarna hitam dan putih ini adalah sebagai cermin baik dan buruk. Rwabhineda juga berarti 2 hal yang berbeda dan yan selalu berdampingan serta tidak bisa dipisahkan. Karena semua itu adalah ciptaan tuhan. Rwabhineda ini diharapkan menjadi penyembang energi positif dan energi negatif yang ada sehingga tidak ada yang mendominasi satu sama lain. Karena apabila salah satunya ada yang mendominasi maka auranya akan menjadi buruk dan dipercaya akan mendatangkan bencana.
            Saput Poleng sebagai simbol masyarakat Hindu di Bali. Penggunaan ‘Saput Poleng’ Kain Kotak Hitam-putih di Bali ini khusus, dalam artian tidak dipergunakan di sembarang tempat dan sembarang acara atau kesempatan. Melainkan hanya ditempat khusus dan acara khusus saja. Penggunaan kain poleng biasa kita jumpai untuk tedung (payung), umbul-umbul, untuk menghias palinggih (tugu), patung, kulkul (kentongan). Tidak hanya benda seni sakral, bahkan pohon yang ada di pura pun banyak dililit dengan kain poleng. Kain poleng juga banyak digunakan untuk menghias benda-benda profan baik di perkantoran maupun di hotel. Misalnya untuk meja makan dan senagai dekorasi ruangan. Kain poleng untuk benda profan ini sering dicampuri dengan corak atau motif baru sehingga disebut kain poleng anyar.
            Demikian pula halnya dalam kesenian Bali, baik itu seni drama, dramatari, maupun Pewayangan. Dalam drama gong, yang sering memakai kain poleng adalah penakawannya. Sedangkan dalam wayang kulit, tokoh yang memakai hiasan poleng, selain penakawan Tualen dan Merdah. 
      
      1.     Saput Poleng di Pura-Pura di Bali. Saput poleng ini khusus dipergunakan untuk bangunan pura termasuk patung yang berada di wilayah paling luar. Selain di pura, juga dipergunakan sebagai umbul-umbul dan payung yang ditancapkan di wilayah pura paling luar juga. Saput Poleng yang digunakan di pura biasanya pada saat upacara adat yang dilaksanakan setiap 6 bulan atau satu tahun sekali di Bali. Pura-Pura tersebut banyak dihiasi Saput Poleng Hitam Putih ini selama 3 hari. Setelah itu kemudian kain dicopot dan disimpan karena kain tersebut dianggap suci. Meskipun kotor, Kain Poleng ini tidak boleh dicuci. Karena di bali mempertahankan kesucian nirmala yaitu suci secara spiritual. Jadi meskipun kainpoleng tersebut kotor tetapi kain tersebut masih dianggap suci secara spiritual.
     
    2.  Saput Poleng di Pekarangan dan Rumah di Bali. Pekarangan dan rumah orang Bali pun menggunakan tata ruang dan tata letak tiga mandala seperti pura dalam, tengah dan luar.  Saput poleng dipergunakan di wilayah paling luar, di pura dan patung yang terletak di pekarangan paling luar, biasanya gerbang rumah.
    
    3. Saput Poleng Sebagai Busana Orang Bali.  Saput poleng juga dipergunakan sebagai busana untuk orang Bali itu sendiri. Saput poleng ini khusus dipergunakan hanya pada saat sedang melaksanakan tugas adat ,sehubungan dengan upacara dan upakara di wilayah luar baik itu di pura, rumah atau desa adat. Pecalang misalnya, adalah orang Bali yang sedang melaksanakan tugas adat untuk mengamankan suatu upacara di wilayah luar. Oleh sebab itu para pecalang biasanya menggunakan saput poleng kain kotak-kotak hitam putih sebagai kain, baju dan ikat kepala (udeng/destar). Kain Poleng yang dipakai oleh para pecalang juga terilhami oleh konsep rwabhineda, dimana seorang yang dipercayai oleh warga untuk menjadi “pengaman” hendaknya mampu dengan tegas memilah yang benar dan buruk.

     4. Saput Poleng digunakan sebagai aksen di pohon-pohon besar yang ada di jalan. Di pohon besar ini dipercaya banyak makhluk ghaib yang menghuni pohon tersebut. Sehingga selain sebagai simbol Rwabhineda kain poleng yang di letakkan di pohon ini juga dipercaya dapat melindungi kita agar makhluk tersebut tidak mengganggu. Juga mengingatkan kepada kita agar pohon tidak boleh sembarangan ditebang.
    
        Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa makna dan filosofi kain / saput poleng bagi masyarakat bali sendiri secara keseluruhan adalah sebagai lambang kesucian dan penyeimbang antara hal-hal yan negatif dan positif. Agar keduanya tidak ada yang mendominasi sehingga tidak akan menimbulkan bencana bagi masyarakat bali. Oleh karenanya kain / saput poleng itu sendiri masih dianggap memiliki makna yang sangat sakral dan tetap dipercaya memiliki filosofi yang dapat melindungi masyarakat Bali


Tidak ada komentar:

Posting Komentar