Kerangka dasar ajaran agama Hindu adalah Tatwa (filsafat), Susila (ethika)
danupacara (rituil). Ketingga kerangka dasar tersebut tidak berdiri
sendiri tetapi merupakan suatu kesatuan yang harus dimiliki dan
dilaksanakan (Anonim, 1968). Kehidupan masyarakat Bali sehari-harinya
didasari atas filsafat Tri Hita Karana yaitu kearmonisan
hidup yang bahagia dengan tiga sumber penyebab yang tidak lain adalah dari
Tuhan, manusia dan alam sekitarnya ( Purnomohadi, 1993). Penerapan Tri
Hita Karana dalam pelaksanaan upacara dan yadnya pada kehidupan
sehari-harinya adalah sebagai berikut :
1. Hubungan antara
manusia dengan Tuhan yang diwujudkan dengan Dewa Yadnya.
2. Hubungan antara
manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra Yadnya, Resi
Yadnya dan Manusia Yadnya
3. Hubungan manusia dengan alam lingkungan yang
diwujudkan dengan Buhta Yadnya.(Anonim 2000).
Pitra Yadnya berasal dari dua kata yaitu “Pitra” yang
berarti Bapak/ Ibu atau leluhur yang terhormat (sinuhun). Dan kata “Yadnya”
berarti penyaluran tenaga, sikap, tingkah laku, dan perbuatan atas dasar suci
untuk keselamatan bersama atau pengorbanan.Pitra Yadnya adalah
pengorbanan yang tulus ikhlas untuk para leluhur dan orang tua. Pitra yadnya
wajib dilakukan untuk membayar hutang hidup kepada orang tua dan leluhur yang
disebut Pitra Rna.Tanpa ada leluhur dan orang tua sangat mustahil
kita akan lahir di dunia ini. Oleh karena itu hutang hidup ini harus dibayar dengan
bentuk Upacara Pitra Yadnya.
Sedangkan menurut I Gusti ketut Kaler menyatakan bahwa Pitra yadnya secara
harfiah terdiri dari dua kata yakniPitra dan Yadnya. Pitra berarti
orang tua (Ayah dan Ibu) dalam pengertian yang lebih luas, bisa disebut
leluhur. Sedangkan Yadnya berarti pengorbanan yang
dilandasi hati yang tulus iklhas nan suci. Jadi, Pitra . Jadi, Pitra Yadnya
berarti pengorbanan yang dilandasi hati yang tulus nan suci kepada leluhur
terutama orang tua”. (Kaler,1993:3)
Disamping bentuk upacara pitra yadnya, yang lebih penting dilakukan masa
kini adalah bagaimana usaha kita untuk menjunjung nama baik dan kehormatan
leluhur dan orang tua. Jadi pitra yadnya dalam kaitan kewajiban sebagai siswa
adalah dengan belajar sebaik-baiknya sebagaimana harapan orang tua. Melayani
orang tua semasih hidup dengan ikhlas serta tidak mengecewakan dan menyakiti
hati orang tua adalah merupakan pitra yadnya utama.
Dasar-dasar adanya Pitra Yadnya.
1) Berdasarkan keyakinan, bahwa dengan merasa
diri seseorang menjadi anak dari seorang bapak/ibu, maka sadarlah seseorang
bahwa ia lahir dan dipelihara sejak kecil sampai dewasa oleh bapak/ibu.
2) Kesadaran diri akan hal tersebut diatas,
makasadar pula akan dirinya yang memiliki hutang yang besar kepada bapak/ibu
yakni berhutang jasa. Sesuai dengan Manawa Dharma Sastra No.127, upacara yang
ditujukan kepada leluhur sangat mulia sifatnya, karena roh leluhur merupakan
dewa terdekat bagi umat hindu setelah disucikan.
3) Kesadaran akan diri, bahwa dalam hidup ini
berhutang jasa terhadap orang tua baik semasih orang tua hidup dan setelah
orang tua meninggal dunia, dalam agama Hindu disebut Pitra Rnam.
4) Jika disimpulkan, jelaslah bahwa dasar adanya
Pitra Yadnya adalah Pitra Rnam.
5) Barang siapa sadar akan dirinya, ia berhutang
kepada orang lain, maka iapun harus sadar akan dirinya mempunyai kewajiban
untuk membayarnya. Demikian kesadaran akan dirinya bahwa dalam hidup ini kita
memegang Pitra Rnam, maka harus sadar pula untuk melaksanakan Pitra Yadnya.
Pada perinsip melakukan Pitra Yadnya adalah kewajiban hidup bagi seorang anak.
Ngaben
menurut keadaan jenasah ada 3 (tiga), yaitu :
Sawa Wedana
: Ngaben
yang layon/jenasahnya langsung dibakar/kremasi
Asti Wedana
: Ngaben
dimana layon/jenasah orang yang diaben terlebihdahulu ditanam
disetra, setelah beberapa lama (umumnya setelah satu tahun) tulang belulangnya
diangkat untuk diaben.
Svasta : Ngaben dimana layon/jenasah orang
yang mau diaben tidak ditemukan (pejah ring sunantara).
Proses
”PITRA YADNYA”
Proses
Ngaben Sawa Wedana, Asti Wedana, dan Svasta, secara umum adalah sbb :
Sawa Wedana
:
- Nyiramang Layon (prosesi
Nyiramang layon seperti : mekerik kuku, mesigsig, dll termasuk tirta
selengkapnya)
- Layon digulung dengan kain
putih yang sudah dirajah, diletakkan di bale gede/saka roras atau tempat
yang telah disediakan.
- Sampai pada hari ”pengutangan”
maka dilaksanakan ”Pelebon” diawali dengan Upacara ”Ngaskara” dan
Caru Pengelambuk, lalu layon dinaikkan diusungan lalu berangkat ke setra.
- Dalam perjalanan disebar ”sekar
ura (beras kuning,uang kepeng/bolong,daun temen, kembang rumpai)”,
maksudnya perpisahan yang meninggal dengan keluarga agar keluarga selalu
diberikan kesejahtraan & kemakmuran.
- Pada persimpangan (perempatan)
dilakukan pemutaran/mesirig sebanyak tiga kali kekiri/berlawanan arah
jarum jam (prasawya) dengan filosopi perpisahan antara yang meninggal
dengan desa pakraman/masyarakat Biasanya diiringi Baleganjur untuk
membangunkan unsur Panca maha bhuta.
- Setelah sampai disetra juga
ditempat pembakaran/pembasmian, dilakukan lagi pemutaran/mesirig, lalu
usungan diturunkan.
- Ngaturang piuning ke Pura Dalem
dan Prajapati dengan menyertakan ”Daksina Linggih” sebagai perwujudan atma
yang meninggal.
- Layon ditempatkan ditempat yang
disediakan, dibuka, diberi/diperciki tirta Penglukatan, pembersihan,
kahyangan tiga, kawitan, dan terakhir pengentas. Dilanjutkan dengan
Ngayabang banten yang diletakkan didada berupa daksina tadi dengan
kelengkapannya, barulah dilakukan”pembakaran”.
- Sisa pembakaran berupa
tulang/galih dipungut dan ditaruh pada sesenden/dulang tanah sebagai alas
penguyegan lalu ditumbuk dan ditaruh pada nyuh gading yang sudah dikasturi
sebagai wujud ”Puspa Asti”. Sisa galih dibersihkan dengan sarana kukusan
dan kain kasa putih selanjutnya dibentuk/direka shg menyerupai
orang-orangan diatas kain putih yang telah dirajah beralaskan klasa.
Rekaan tersebut diisi kwangen 22 (dua puluh dua)ditaruh pada: ubun ubun,
mata, telinga, dahi, hidung, mulut, kerongkongan, puser, huluhati, perut,
kemaluan, pantat, kaki, tangan, jari-jari.
10.
Selanjutnya ”Puja Utpati” yang dilakukan oleh Sulinggih/Pandita untuk memberi
tuntunan serta menghidupkan dan mempertemukan rekaan/Cili (Badan wadag) dengan
Puspa Asti (Atma).
11. Sisa
galih dibungkus dengan kain putih berbarengan penempatannya dengan alat/sarana
pembersihan dan disertakan dalam proses Nganyut. Sehingga proses akhir dari
rangkaian upacara ini adalah ”Upacara Nganyut” ke Segara atau sungai yang
bermuara kelaut.
12. Setelah
itu dilanjutkan dengan upacara ”Ngangkid”, kembali dibentuk berupa Puspa Lingga
atau Daksina Linggih.
13.
Dilanjutkan dengan ”Ngerorasin” di Pura Dalem dimana Puspa Lingga tersebut
dibuka ”Keampigang” bila upacara sampai disini.
14.
Pembersihan terakhir adalah diadakan ”Pecaruan” di pekarangan rumah, Mrajan,
serta Mrajan dadia.
Untuk ”Asti
Wedana dan Svasta” perbedaan kalau Asti Wedana ada ngangkid tulang
belulang sementara Svasta Wedana untuk sawa diganti dengan ”Tirtha (Toya Carira).
Prosesnya adalah sbb :
1. Diawali
membuat ”Tegteg” yaitu bentuk manusia terbuat dari kayu cendana atau cukup
berupa ”Daksina Pengawak” dihias sedemikian rupa diberi gambar orang sesuai
jenis kelamin dan diberi pipil nama.
2. Tegteg
diiring ke Pura dalem tujuannya matur piuning serta memohon Atma yang akan
diaben. Acara ini cukup oleh Pinandita/Pemangku.
3.
Dilanjutkan dengan upacara ”Ngulapin” di Pura Mrajapati.
4.
Selanjutnya ”Ngeplugin” diatas kuburan, dengan memukulkan ”upih (pelepah daun
pisang) sebanyak tiga kali.
5. Upacara
”Ngangkid/Ngendagin” dipimpin oleh Pandita/Sulinggih, bila telah dibongkar dan
ditemukan tulang belulang, maka diletakkan uang kepeng (200 kepeng) yang diikat
dengan dimana ujungnya dipegang oleh pratisentana sebagai ungkapan semua
keluarga siap melaksanakan upacara.
6. Tulang
belulang diangkat dan ditempatkan di Bale Panusangan/pesiraman dibuat setinggi
ulu hati dari bahan kayu dadapdan diberikan leluwur kain putih yang telah
dirajah. Tulang belulang dibersihkan dan dibungkus dengan kain putih hal ini
disebut ”Ngringkes” lalu diletakkan disuatu tempat yang disediakan masih
diareal setra.
7. Tegteg
diletakkan diatas bungkusan tulang belulang tersebut lalu diupacarai sebagai
layaknya sawe utuh lalu ditempatkan di ”Tumpang Salu”.
8. Proses
selanjutnya adalah sama seperti ”Sawa Wedana (point 8) berupa pembakaran tulang
belulang diawali dengan ”Ngaskara” dan seterusnya sampai ”Ngelinggihang Dewa
Hyang”.
Ngelunggah
(Ngerapuh) :
Anak yang
telah ”tanggal gigi” diperlakukan seperti Pitra Yadnya orang dewasa, sedangkan
untuk anak/bayi yang ”kurang dari tigang sasih” dilakukan dengan
”mependem” saja, bila dilakukan upacara atiwa-tiwa disebut dengan ”Ngelunggah
atau Ngerapuh”. Proses Ngelunggah adalah :
- Piuning ke Pura Dalem
- Piuning ke Mrajapati
- Piuning ke Sedahan Setra
- Piuning di Bambang rare
- Banten kepada roh bayi dan
tirta pengerapuh.
Prosesnya:
dengan banten yang sudah tersedia dan dipimpin oleh Pemangku, dilakukan
pemujaan agar roh sang bayi disucikan kembali, selanjutnya diperciki tirta yang
telah dimohon pada : Mrajapati, Kemulan, Kahyangan tiga, dan lainnya, terakhir
bambang diratakan dan semua banten dipendem.
Ngelanus
Bila Upacara
Pitra Yadnya dilakukan ”tanpa adanya jeda waktu” maka disebut dengan”Ngelanus atau Numandang
Mantri”. Ngelanus ini mulai banyak dilakukan karena lebih effisien dan
lebih cepat, prosesnya adalah :
Setelah
”Nganyut”, seketika itu :
mapegat
mangening-ngening, mecaru, ngerorasin, nyepuh, dilanjutkan dengan ”Penyekahan”,
ngalap don bingin, ngajum sekah.
Setelah
Ngadegang sekah sebagaimana mestinya, selanjutnya di Pralina (kageseng) dan
kembali diwujudkan dengan Ngadegang Puspa Lingga diakhiri dengan Nganyut ke
Segara.
Selanjutnya
Ngulapin Sang Dewa Pitara untuk dilinggihkan di Pemrajan dan bila sudah
waktunya diadakan me-ajar-ajar, barulah dilinggihkan sebagai Dewa Hyang pada
sanggah Mrajan Dadia, Pemaksan (Ngwangi) jika diperlukan.
Kajang dan
Berbagai Tirta
Semua bentuk
Pitra Yadnya patut menggunakan ”kain kajang” selengkapnya sesuai dengan
kepatutan masing-masing, juga tirta tunggangdari Bhatara
Kawitan/leluhur, juga ketika melakukan Nyekah/Memukur (Atma Wedana) perlu
menggunakan Tirta Pingit serta Damar Kurung, agar semakin sempurna prosesi
Pitra Yadnya tersebut. Hal yang selalu ada pada Pitra yadnya adalah : Tirta
Panembak, Tirta pemanah, Tirta Pengentas, Tirta pambersihan, serta tirta
lainnya.
a. Tirta
panembak digunakan saat memandikan Layon, tirta ini mengandung makna
membersihkan jasad/angga sarira orang yang meninggal dari kotoran-kotoran lahir
batin. Toya ini diperoleh pada tengah malam dan mengambilnya
pertama dari hilir ke hulu secepat kilat. Saat memandikan mayat, tirta
panembak akan dipergunakan dari hulu ke hilir.
b. Tirta pangelukatan tirta
ini mengandung arti bahwa orang yang diabenkan diruwat mala pataka- nya
oleh tirta ini.
c. Tirta pamanah .
Satu jenis air suci yang diperoleh dari sumber air suci pada waktu upacara ngening.
Orang-orang mencari air suci dengan membawa “panah” yang dibuat dan diberikan
mantra oleh pendeta. Air suci itu akan dipakai saat jenazah dimandikan.
d. Tirta pangentas .
Kata pangentas berasal dari tas yang berarti
putus. Dalam upacara Pitra Yadnya ada istilah tiuk pangentas yang
artinya pisau untuk memutuskan tali pengikat gulungan jenazah. Tirta pangentasmerupakan
air suci yang dibuat dengan mantra sulinggih sang pamuput ,
bertujuan memutuskan ikatan purusa dengan prakerti sang
mati guna dikembalikan kepada sumbernya masing-masing. Pada pelaksanaan Pitra
Yadnya yang besar, tali pengikat purusa dan prakerti dilukiskan
sebagai naga banda yang berarti naga pengikat. Dalam lontar Tutur
Suksma ada disebutkan bahwa yang dimaksud naga adalah bayu atau energi
yang muncul sebagai akibat menyatunya purusa dan prakerti .
Tanpa tirtapangentas itu, ikatan purusa dengan prakerti tak
akan bisa diputuskan. Bagi orang-orang yogin, mereka telah dapat memutuskan
sendiri ikatan dengan kekuatan yoganya sehingga mereka bisa melakukan moksa
angga . DalamYoga Kundalini dikemukakan, apabila yoganya
telah mencapai titik kulminasi maka akan muncul panas dan dari panas inilah
muncul api yang membakarstula –nya. Itu sebabnya, tirta pangentas sangat
prinsipil kehadirannya dalam upacara Pitra Yadnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar