Om Swastiastu
Setiap agama tentunya memiliki cara yang berbeda
dalam melakukan pendekatan dengan Tuhan atau Yang Maha Kuasa. Hindu misalnya
memiliki tata cara tersendiri dalam melakukan ibadah atau sembahyang yang
sering disebut dengan Tri Sandhya.
Dalam Hindu pemujaan kepada yang Nirguna (tidak
dapat diwujudkan) perlu menggunakan sarana-sarana sebagai penguhubung antara
yang menyembah dan yang disembah. Adanya bangunan Padmasana merupakan salah satu
sarana untuk dapat menjadikan yang Nirguna tersebut sehingga menjadi Saguna
(bisa dipikirkan atau diwujudkan). Sarana-sarana dalam persembahyangan inilah
yang bisa dijadikan penghubung dalam melakukan pemujaan kapada Tuhan atau Ida
Sang Hyang Widhi Wasa.
Ada beberapa sarana yang digunakan umat Hindu
dalam melakukan persembahyangan. Seperti Bunga/Kwangen, Dupa, Air, dan
Beras/Bija. Sarana-sarana yang digunakan ini tentu tanpa memiliki makna. Justru
sarana ini digunakan karena memiliki makna yang begitu suci yang dipercayai
oleh umat Hindu dapat mengantarkan doa yang kita lantunkan atau kita ucapkan
pada saat sembahyang.
1. Bunga
Bungan merupakan perlambang ketulus ikhlasan dan
kesucian hati untuk menghadap pada sang pencipta. Bunga mempunyai dua fungsi
penting yaitu: a) Sebagai simbul Tuhan (Siwa). b) Sebagai sarana persembahan.
Bunga sebagai simbul Tuhan diletakkan di ujung cakupan tangan pada saat
menyembah dan sesudahnya bunga tersebut diletakkan di atas kepala atau
disumpingkan di telinga. Bunga sebagai saranha persembahan maka bunga dipakai
mengisi sesajen.
Dalam Kekawin Negara Kerthagama dijelaskan bunga
dipakai Upacara Saradha yaitu upacara penyucian Roh Leluhur tahap kedua di Bali
disebut Puspa Lingga. Tahap pertama dinamakan Puspa Sarira yang artinya
berbadan bunga. Inilah yang dibakar sebagai simbul badan manusia. Tujuannya
agar jiwatman bisa menyatu ke alam Ketuhanan yang dinamakan Mur
Amungsi Maring Siwa Buda Loka.
Fungsi bunga berbeda beda tidak setiap bunga
bisa dipakai sebagai sarana persembahyangan. Untuk bunga yang paling baik
menurut ajaran agama dan multi guna adalah bunga Teratai. Bunga ini akarnya di
lumpur daunnya di air dan bunganya membujur di udara.
Selain bunga juga sering digunakan kwangen dalam
persembahyangan atau keramaning sembah. Kwangen dalam fungsinya melambangkan
tiga unsur kekuatan suci Tuhan yaitu Tri Murti (brahma, wisnu, dan siwa).
Sedangkan di dalam Bradhara Upanisad menegaskan bahwa kwangen
adalah simbol Ida Sanghyang Widhi sedangkan Lontar Sri Jayakasunu menjelaskan
bahwa kwangen adalah simbolik Aksara suci OM (Omkara). Jelas kedua sumber ini
menunjukkan bahwa kwangen adalah simbul atau perlambang wujud visual Ida
Sanghyang Widhi Wasa.
Disamping itu ada juga pendapat bahwa kwangen itu adalah lambang ketulus ikhlasan dan keterpusatan pikiran kehadapan Ida Sanghyang Widhi. Itulah sebabnya bahwa dalam kehidupan sehari-hari perlu dikembangkan rasa ketulus ikhlasan itu. Sebab tanpa rasa tulus dan ikhlas kepada Ida Sanghyang Widhi, maka manusia akan menjadi resah, gelisah dan tidak tenang. Karena itu akan sulit berhubungan dengan kekuatan-kekuatan Mahasuci Ida Sanghyang Widhi. Kwangen sebagai simbul Ida Sanghyang Widhi dapat pula dilihat dari tiga unsur utama yang dipergunakan untuk membuat kewangen itu, yakni :
- Kojong dari daun pisang yang melambangkan Arda Candra (bulan sabit).
- Jinah bolong yang bentuknya bundar
melambangkan Windu (matahari).
- Chili atau reringgitan janur yang melambangkan
Nada (bintang).
Dengan demikian kwangen digambarkan sebagai bulan, matahari dan bintang yang melambangkan alam semesta dan merupakan stana Ida Sanghyang Widhi. Disamping ketiga bahan utama diatas, di dalam kwangen juga terdapat porosan silih asih, plawa, dan bunga. Porosan silih asih merujuk kepada kemahakuasan Ida Sanghyang Widhi yang bersifat Ardanareswari (Purusa pradana). Penyatuan Purusa dan pradana ini melahirkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Hal ini menjelaskan kepada kita betapa Ida Sanghyang Widhi dalam wujudnya sebagai Purusa Pradana memberi kemakmuran dan kebahagiaan lahir bathin kepada manusia.
Dengan demikian kwangen digambarkan sebagai bulan, matahari dan bintang yang melambangkan alam semesta dan merupakan stana Ida Sanghyang Widhi. Disamping ketiga bahan utama diatas, di dalam kwangen juga terdapat porosan silih asih, plawa, dan bunga. Porosan silih asih merujuk kepada kemahakuasan Ida Sanghyang Widhi yang bersifat Ardanareswari (Purusa pradana). Penyatuan Purusa dan pradana ini melahirkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Hal ini menjelaskan kepada kita betapa Ida Sanghyang Widhi dalam wujudnya sebagai Purusa Pradana memberi kemakmuran dan kebahagiaan lahir bathin kepada manusia.
2. Dupa
Dupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar
sehingga berbau harum dan menyala sebagai lambang Agni dan berfungsi sebagai
saksi atau perantara yang menghubungkan pemuja dengan yang dipuja. Sebagai
pembasmi segala mala dan pengusir roh jahat. Sebagai saksi dalam upacara.
Kalau kita renungkan fungsi dan arti dupa dalam
upacara persembahyangan yang dipimpin pendeta punya arti sangat dalam. Dupa
berasal dari Wisma yaitu alam semesta dan asapnya secara perlahan menyatu ke
angkasa inilah sebagai perlambang menuntun umat agar menghidupkan api dalam
raga dan menggerakkan menuju Sanghyang Widhi.
Pemangku atau Pinandhita dalam memimpin upacara menggunakan
api dalam bentuk Pasepan yang isinya: Menyan, Majegau dan Cendana dibakar agar
berasap dan berbau. Maknanya sbb: Menyan untuk memuja Dewa Siwa, Majegau untuk
memuja Dewa Sada Siwa dan Cendana untuk memuja Parama Siwa. Disinilah
Pemangku/Pinandita menggunakan Puja Seha sebagai medianya. Mengenai
pasepan/asep sangat jelas terdengar pada bait Kidung Warga Sari yang biasa
disuarakan pada upacara panca yadnya sebagai permohonan agar para Dewata segera
turun.
Makna Dupa sebagai pembasmi segala kotoran
tampak jelas pada persembahyangan sehari hari. Api juga sebagai saksi upacara
dalam kehidupan. Dalam persembah¬angan dupa sebagai saksi dan asapnya sebagai
lambang gerakan rohani ke angkasa sebagai stana para Dewa. Dupa sebagai sarira
Sanghyang Agni maha melihat perbuatan manusia. Dalam Mitos Hindu yang terdapat
pada Lontar Siwa Gama dijelaskan saat rapat para dewa di Sorga yang dipimpin
oleh Dewa Siwa, saat itu hadir pula Dewa Surya, oleh karena penampilan Dewa
Surya sangat simpatik maka dewa Siwa menganugrahkan tugas agar mewakili dirinya
di dunia yaitu sebagai saksi alam semesta.
3. Air
Air merupakan sarana yang Penting dalam
persembahyangan. Menurut jenisnya air yang dipakai dalam persembahyangan air
dibedakan atas dua macam yaitu: 1. Air untuk pembersihan secara pisik. 2. Air
suci (tirtha). Berdasarkan cara pembuatannya tirtha dibedakan atas dua jenis
tirtha yang dimohonkan pada Tuhan dan tirtha yang dibuat oleh pandita melalui
mantra atau puja.
Air suci (tirtha) berfungsi sebagai pembersihan diri dan kecemaran pikiran sabda, bayu dan idep. Tirtha pada dasarnya merupakan air biasa bila diuraikan secara kimia maka unsurnya adalah H2O tetapi karena dilandasi dengan kepercayaan dan keyakinan agama maka materi tersebut disakralkan sehingga mampu menumbuhkan keheningan pikiran bahkan memiliki kekuatan magis.
Air suci (tirtha) berfungsi sebagai pembersihan diri dan kecemaran pikiran sabda, bayu dan idep. Tirtha pada dasarnya merupakan air biasa bila diuraikan secara kimia maka unsurnya adalah H2O tetapi karena dilandasi dengan kepercayaan dan keyakinan agama maka materi tersebut disakralkan sehingga mampu menumbuhkan keheningan pikiran bahkan memiliki kekuatan magis.
4. Bija
Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu
putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara
adalah benih ke-Siwa-an/Kedewataan yang bersemayam dalam diri setiap orang.
Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri
orang. Sehingga disarankan agar dapat menggunakan beras galih yaitu beras
yang utuh, tidak patah (aksata). Alasan ilmiahnya, beras yang pecah atau
terpotong tidak akan bisa tumbuh.
Dalam menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an /
Kedewataan dalam tubuh, tentu meletakkannya juga tidak sembarangan. Ibaratnya
menumbuh kembangkan tananam buah kita tidak bisa menamamnya sembarangan
haruslah di tanah yang subur. Maka dari itu menaruh bija di badan manusia
ada aturannya, agar dapat menumbuh kembangkan sifat kedewataan /ke-Siwa-an
dalam diri.
Hendaklah Bija di letakkan pada titik - titik yang peka terhadap sifat kedewataan, dan titik - titik itu adalah :
1.
Di pusar yang disebut
titik manipura cakra.
2.Di hulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling
terkonsentrasi di dalam bagian padma hrdaya ini (hati
berbentuk bunga tunjung atau padma). Titik kedewataan ini disebut Hana
hatta cakra.
3. Di leher, diluar kerongkongan
atau tenggorokan yang disebut wisuda cakra.
4.
Di dalam mulut atau
langit-langit.
5. Di antara dua alis mata yang
disebut anjacakra.sebenarnya letaknya yang lebih tepat, sedikit
diatas, diantara dua alis mata itu.
Pharapan agar mendapatkan kebahagiaan.
3.
Di mulut, langsung
ditelan jangan digigit atau dikunyah. Alasannya seperti tadi kalau
dikunyah beras itu akan patah dan akhirnya tak tumbuh berkembang sifat
kedewataan manusia.Sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan
harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.
Semoga Bermanfaat
Om Shanti shanti shanti Om
Tidak ada komentar:
Posting Komentar