Selasa, 22 November 2016

Arti Sarana Persembahyangan


 Om Swastiastu
Setiap agama tentunya memiliki cara yang berbeda dalam melakukan pendekatan dengan Tuhan atau Yang Maha Kuasa. Hindu misalnya memiliki tata cara tersendiri dalam melakukan ibadah atau sembahyang yang sering disebut dengan Tri Sandhya.


Dalam Hindu pemujaan kepada yang Nirguna (tidak dapat diwujudkan) perlu menggunakan sarana-sarana sebagai penguhubung antara yang menyembah dan yang disembah. Adanya bangunan Padmasana merupakan salah satu sarana untuk dapat menjadikan yang Nirguna tersebut sehingga menjadi Saguna (bisa dipikirkan atau diwujudkan). Sarana-sarana dalam persembahyangan inilah yang bisa dijadikan penghubung dalam melakukan pemujaan kapada Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Ada beberapa sarana yang digunakan umat Hindu dalam melakukan persembahyangan. Seperti Bunga/Kwangen, Dupa, Air, dan Beras/Bija. Sarana-sarana yang digunakan ini tentu tanpa memiliki makna. Justru sarana ini digunakan karena memiliki makna yang begitu suci yang dipercayai oleh umat Hindu dapat mengantarkan doa yang kita lantunkan atau kita ucapkan pada saat sembahyang.

1. Bunga
Bungan merupakan perlambang ketulus ikhlasan dan kesucian hati untuk menghadap pada sang pencipta. Bunga mempunyai dua fungsi penting yaitu: a) Sebagai simbul Tuhan (Siwa). b) Sebagai sarana persembahan. Bunga sebagai simbul Tuhan diletakkan di ujung cakupan tangan pada saat menyembah dan sesudahnya bunga tersebut diletakkan di atas kepala atau disumpingkan di telinga. Bunga sebagai saranha persembahan maka bunga dipakai mengisi sesajen. 

Dalam Kekawin Negara Kerthagama dijelaskan bunga dipakai Upacara Saradha yaitu upacara penyucian Roh Leluhur tahap kedua di Bali disebut Puspa Lingga. Tahap pertama dinamakan Puspa Sarira yang artinya berbadan bunga. Inilah yang dibakar sebagai simbul badan manusia. Tujuannya agar jiwatman bisa menyatu ke alam Ketuhanan yang dinamakan Mur Amungsi Maring Siwa Buda Loka.

Fungsi bunga berbeda beda tidak setiap bunga bisa dipakai sebagai sarana persembahyangan. Untuk bunga yang paling baik menurut ajaran agama dan multi guna adalah bunga Teratai. Bunga ini akarnya di lumpur daunnya di air dan bunganya membujur di udara.

Selain bunga juga sering digunakan kwangen dalam persembahyangan atau keramaning sembah. Kwangen dalam fungsinya melambangkan tiga unsur kekuatan suci Tuhan yaitu Tri Murti (brahma, wisnu, dan siwa).  Sedangkan di dalam Bradhara Upanisad menegaskan bahwa kwangen adalah simbol Ida Sanghyang Widhi sedangkan Lontar Sri Jayakasunu menjelaskan bahwa kwangen adalah simbolik Aksara suci OM (Omkara). Jelas kedua sumber ini menunjukkan bahwa kwangen adalah simbul atau perlambang wujud visual Ida Sanghyang Widhi Wasa. 

Disamping itu ada juga pendapat bahwa kwangen itu adalah lambang ketulus ikhlasan dan keterpusatan pikiran kehadapan Ida Sanghyang Widhi. Itulah sebabnya bahwa dalam kehidupan sehari-hari perlu dikembangkan rasa ketulus ikhlasan itu. Sebab tanpa rasa tulus dan ikhlas kepada Ida Sanghyang Widhi, maka manusia akan menjadi resah, gelisah dan tidak tenang. Karena itu akan sulit berhubungan dengan kekuatan-kekuatan Mahasuci Ida Sanghyang Widhi. Kwangen sebagai simbul Ida Sanghyang Widhi dapat pula dilihat dari tiga unsur utama yang dipergunakan untuk membuat kewangen itu, yakni : 

- Kojong dari daun pisang yang melambangkan Arda Candra (bulan sabit).
- Jinah bolong yang bentuknya bundar melambangkan Windu (matahari).
- Chili atau reringgitan janur yang melambangkan Nada (bintang).

Dengan demikian kwangen digambarkan sebagai bulan, matahari dan bintang yang melambangkan alam semesta dan merupakan stana Ida Sanghyang Widhi. Disamping ketiga bahan utama diatas, di dalam kwangen juga terdapat porosan silih asih, plawa, dan bunga. Porosan silih asih merujuk kepada kemahakuasan Ida Sanghyang Widhi yang bersifat Ardanareswari (Purusa pradana). Penyatuan Purusa dan pradana ini melahirkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Hal ini menjelaskan kepada kita betapa Ida Sanghyang Widhi dalam wujudnya sebagai Purusa Pradana memberi kemakmuran dan kebahagiaan lahir bathin kepada manusia.

2. Dupa
Dupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar sehingga berbau harum dan menyala sebagai lambang Agni dan berfungsi sebagai saksi atau perantara yang menghubungkan pemuja dengan yang dipuja. Sebagai pembasmi segala mala dan pengusir roh jahat. Sebagai saksi dalam upacara.

Kalau kita renungkan fungsi dan arti dupa dalam upacara persembahyangan yang dipimpin pendeta punya arti sangat dalam. Dupa berasal dari Wisma yaitu alam semesta dan asapnya secara perlahan menyatu ke angkasa inilah sebagai perlambang menuntun umat agar menghidupkan api dalam raga dan menggerakkan menuju Sanghyang Widhi.

Pemangku atau Pinandhita dalam memimpin upacara menggunakan api dalam bentuk Pasepan yang isinya: Menyan, Majegau dan Cendana dibakar agar berasap dan berbau. Maknanya sbb: Menyan untuk memuja Dewa Siwa, Majegau untuk memuja Dewa Sada Siwa dan Cendana untuk memuja Parama Siwa. Disinilah Pemangku/Pinandita menggunakan Puja Seha sebagai medianya. Mengenai pasepan/asep sangat jelas terdengar pada bait Kidung Warga Sari yang biasa disuarakan pada upacara panca yadnya sebagai permohonan agar para Dewata segera turun. 

Makna Dupa sebagai pembasmi segala kotoran tampak jelas pada persembahyangan sehari hari. Api juga sebagai saksi upacara dalam kehidupan. Dalam persembah¬angan dupa sebagai saksi dan asapnya sebagai lambang gerakan rohani ke angkasa sebagai stana para Dewa. Dupa sebagai sarira Sanghyang Agni maha melihat perbuatan manusia. Dalam Mitos Hindu yang terdapat pada Lontar Siwa Gama dijelaskan saat rapat para dewa di Sorga yang dipimpin oleh Dewa Siwa, saat itu hadir pula Dewa Surya, oleh karena penampilan Dewa Surya sangat simpatik maka dewa Siwa menganugrahkan tugas agar mewakili dirinya di dunia yaitu sebagai saksi alam semesta.

3. Air
Air merupakan sarana yang Penting dalam persembahyangan. Menurut jenisnya air yang dipakai dalam persembahyangan air dibedakan atas dua macam yaitu: 1. Air untuk pembersihan secara pisik. 2. Air suci (tirtha). Berdasarkan cara pembuatannya tirtha dibedakan atas dua jenis tirtha yang dimohonkan pada Tuhan dan tirtha yang dibuat oleh pandita melalui mantra atau puja.

Air suci (tirtha) berfungsi sebagai pembersihan diri dan kecemaran pikiran sabda, bayu dan idep. Tirtha pada dasarnya merupakan air biasa bila diuraikan secara kimia maka unsurnya adalah H2O tetapi karena dilandasi dengan kepercayaan dan keyakinan agama maka materi tersebut disakralkan sehingga mampu menumbuhkan keheningan pikiran bahkan memiliki kekuatan magis.

4. Bija
Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an/Kedewataan  yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang.  Sehingga disarankan agar dapat menggunakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata). Alasan ilmiahnya, beras yang pecah atau terpotong tidak akan bisa tumbuh.

Dalam menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an / Kedewataan dalam tubuh, tentu meletakkannya juga tidak sembarangan. Ibaratnya menumbuh kembangkan tananam buah kita tidak bisa menamamnya sembarangan haruslah di tanah yang subur. Maka dari itu menaruh bija di badan manusia ada aturannya, agar dapat menumbuh kembangkan sifat kedewataan /ke-Siwa-an dalam diri.
Hendaklah Bija di letakkan pada titik - titik yang peka terhadap sifat kedewataan, dan titik - titik itu adalah :

1.  Di pusar yang disebut titik manipura cakra.
2.Di hulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling terkonsentrasi di dalam bagian padma hrdaya ini (hati berbentuk bunga tunjung atau padma). Titik kedewataan ini disebut Hana hatta cakra.
3.     Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan yang disebut wisuda cakra.
4.            Di dalam mulut atau langit-langit.
5.    Di antara dua alis mata yang disebut anjacakra.sebenarnya letaknya yang lebih tepat, sedikit diatas, diantara dua alis mata itu.

Pharapan agar mendapatkan kebahagiaan.
3.                        Di mulut, langsung ditelan jangan digigit atau dikunyah. Alasannya seperti tadi kalau dikunyah beras itu akan patah dan akhirnya tak tumbuh berkembang sifat kedewataan manusia.Sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.
Semoga Bermanfaat
Om Shanti shanti shanti Om


Tidak ada komentar:

Posting Komentar